Saturday, December 26, 2009



Diary 27 Desember 2009


Bogor, 27 Desember 2009
Namaku Angel. Entahlah. Aku tidak yakin, setidaknya itulah namaku sejak 5 tahun yang lalu. Angelica Putri. Tanpa nama keluarga karena sejujurnya aku tidak punya keluarga. Yang kuingat hanyalah bahwa lima tahun yang lalu aku kembali membuka mataku, saat senja telah menyergap bumi. Kupikir aku sudah di surga. Ruangan yang aku tempati saat itu , semua putih ditemani orang-orang yang berpakaian putih. Belakangan kutahu kalau aku belum di surga, setidaknya tidak di neraka yang telah berubah menjadi suasana nyaman dengan senyum ramah dari orang-orang yang seketika mengelilingiku saat membuka mataku. Belakangan kutau mereka adalah para dokter dan perawat yang telah menyelamatkanku dan menunda keberangkatanku ke surga.


Selebihnya aku tidak ingat. Aku tidak ingat apa yang terjadi sebelum 5 tahun itu. Siapa namaku, berapa umurku, siapa orang tuaku, di mana aku tinggal. Semuanya hilang dan tak tersisa dalam pikiranku. Yang kudengar dari orang-orang di sekelilingku hanyalah bahwa aku salah satu orang yang selamat dari banjir bandang- yang menurut orang-orang di televisi adalah tsunami - yang terjadi di aceh 27 Desember 2007. Tapi bagiku , kejadian yang tidak aku ingat itu adalah kelahiranku kembali. Kelahiran dari kematian yang hampir merenggutku dan hidup kembali di sebuah panti asuhan yang sangat jauh dari Aceh.

“Njel. Kata orang-orang yang membawa kamu. Kamu di temukan sedang terapung pada sebuah kayu pohon saat tim sar sedang mencari korban-korban yang masih hidup. Kondisi rumah sakit di Aceh tidak memungkinkan untuk merawat kamu yang sangat kritis dan sedang koma. Itulah sebabnya kamu dibawa ke Jakarta untuk dirawat intensif. Kamu tidak membawa tanda pengenal satupun. Yang ada hanyalah kalung dengan salib dan inisial AP. Hanya itu. Itulah sebabnya kami menamaimu Angelica Putri. Sampai saat ini, belum ada orang tua yang mengaku kehilangan anak dengan ciri seperti kamu. Kami menduga orangtuamu menjadi korban keganasan tsunami bersama ratusan ribu korban yang lain.” Begitulah kata-kata suster kepala panti saat kutodong untuk menceritakan segala yang beliau ketahui tentangku.

“Kamu mengalami gejala yang dalam dunia kedokteran disebut amnesia retrograde. Kamu kehilangan ingatan tentang kejadian yang terjadi sebelum peristiwa tsunami itu. Entah sampai kapan. Kami tidak bisa menjanjikan apa-apa. Kemungkinan terburuknya adalah mungkin untuk selamanya. Mungkin waktu itu, kamu terjatuh atau sesuatu menghantam kepala kamu. Menyebabkan kamu tidak ingat lagi apa-apa sebelumnya. Kami telah berusaha dengan segala cara untuk mengembalikan ingatan kamu. Tapi sampai saat ini, kami belum berhasil. Kamu harus sabar yach.” Aku tidak mengerti jelas apa yang dikatakan dokter itu sehari sebelum aku keluar dari rumah sakit. Aku hanya mengangguk.

Aku beruntung bertemu panti asuhan yang bersedia menampung aku. suster Lusia yang memimpin panti itu mengisinkan aku untuk tinggal di sini. Tidak hanya itu, mereka menyekolahkanku, memberiku makanan dan kasih sayang. Hingga aku tidak pernah bersedih. Meskipun suster Lusia memintaku untuk tidak menonton berita-berita tentang kejadian yang mengubah seluruh hidupku itu. Beliau pun tidak pernah membahasnya di depanku, tapi aku bisa mendapatkannya dari tempat lain. Dari koran, majalah, dan potongan-potongan berita yang secara tidak sengaja kulihat.

Aku tahu, suster Lusia tidak menginginkan aku menjadi trauma. Tapi aku yakin, aku cukup tegar untuk menghadapi saat ini. Buktinya aku tidak pernah menangis. Aku tidak tahu apa yang harus kutangisi. Aku lupa dengan semuanya. Yang teringat hanyalah aku membuka mata, dengan selang infuse dimana-mana, di tanganku. Bahkan selang yang lebih besar di mulut, sungkup oksigen di hidungku.

Anak-anak yang kata orang-orang senasib denganku sesekali menangis, meski secara diam-diam. Dan aku melihatnya. Mereka menangis tentang orang tua mereka, tentang teman-teman mereka, tentang kehidupan mereka lima tahun yang lalu.

Aku ingin menangis, tapi mengingat wajah orang tuaku tidak, mengingat nama mereka saja tidak. Bahkan mengingat namaku sendiri tidak. Semua sisi kehidupanku berubah lima tahun ini.

Suster lusia bercerita tentang beberapa orang pencari berita yang meminta untuk menemuiku, mewawancarai tentang keadaanku. Ia meminta pendapatku, apa aku mengijinkan mereka menemuiku. Aku bertanya kepadanya, apa yang akan aku jawab ? Aku tidak ingat apa-apa. Dan seperti biasa, ia membesarkan hatiku , menenangkanku dari kecemasan yang aku rasakan dan berkata bahwa aku bisa melewati semua ini seperti setiap detik dan menit lima tahun terakhir. Aku adalah pemenang dari peristiwa alam yang hampir merenggutku.

Yach, suster Lusia benar. Aku telah bertahan dalam setiap detik dan menit dalam kelahiranku kembali ini. Akulah sang pemenang untuk peristiwa alam yang tak pernah aku ingat. Aku bisa menghadapi para pencari berita itu, aku pun akan bisa menghadapi setiap detik dan menit berikutnya karena aku tidak sendiri. Ada suster lusia, ada pengurus panti yang lain, ada teman-teman panti dan banyak lagi yang akan menghiburku saat aku bersedih.

Aku mungkin tidak bisa bertemu orang tuaku, dan di tempat ini aku menemukan segalanya , ada suster Lusia dan pengurus panti yang menyayangiku layaknya orang tua. Ada teman-teman yang menjadi saudara-saudaraku. Dan ada Tuhan yang akan selalu menemukan jalan terbaik untuk hidupku. Tak ada yang perlu disesali dan ditangisi dalam kesedihan. Aku akan tetap bertahan.

Terima kasih Tuhan untuk berkatMu yang masih bisa kurasakan hingga saat ini. Ajar aku untuk tetap bersyukur untuk segala yang kualami, dalam setiap detik dan menit hidupku. Terima kasih untuk semua orang yang menyayangiku. Amin

27 Desember 2009




Angel


Nb.

Untuk semua anak-anak yang bertahan dari tsunami Aceh lima tahun yang lalu. Tetaplah bertahan ! Ada banyak yang menyayangimu dan ada Tuhan yang akan memenuhi hidupmu setiap detik dan menit hidupmu.
Selamat hari Natal dan sambutlah Tahun baru dalam kegembiraan karena kalian telah menjadi pemenang
Makassar,27 Desember 2009




No comments: