Monday, November 30, 2009

The Un-Reality Show



Seberapa banyak “reality show” yang tayang di televisi-televisi nasional ? Mulai dari pencarian cinta, mencari anak yang hilang, baikan, dan tema-tema lain yang mencoba untuk menguras air mata para penonton setianya yang secara tidak sadar terbawa oleh suasana yang ditampilkan dalam tayangan “reality show tersebut”.
Tapi, apakah semua itu benar-benar reality show ?
atau hanya sekedar tontonan yang dibuat entah dengan dasar kejadian sebenarnya atau hanya rekaan fiktif yang dipikirkan oleh tokoh-tokoh di belakang layar seperti sutradara, produser, penulis naskah untuk meningkatkan rating program yang secara langsung maupun tidak akan menghadirkan sejumlah sponsor dari iklan-iklan sepanjang penayangan acara tersebut.
Percaya atau tidak, saat menonton atau menikmati acara yang disebut ‘reality show” , semua akan dibawa pada sebuah imajinasi tentang tema yang dibawakan dalam tayangan. Entah itu perselingkuhan, atau cerita tentang kebohongan yang seolah-olah untuk kebaikan, atau tentang kilas balik cinta pertama dan tema lainnya. Mungkin kita memandang itu sebagai reality show karena seperti itulah yang terjadi dalam kehidupan di sekitar kita. Penulis naskah dan para pemain hanya menunjukkannya dalam sebuah acara yang diberi tajuk “reality show”.
Memang tidak ada fakta bahwa yang benar-benar memastikan bahwa tayangan-tayangan tersebut sebenarnya bukanlah reality show seperti yang menjadi trade mark acara. Tapi bila membaca salah satu artikel yang mungkin bisa dipercaya, sepertinya batasan antara yang nyata dan imajinasi sangat kabur. Seperti halnya halusinasi yang dialami oleh seorang skizofenia yang dianggapnya adalah kebenaran. Atau halnya de javu yang kita ragukan apakah benar-benar pernah terjadi.




Ujian Nasional Dihapus ?




Beberapa hari yang lalu saya sedikit terkejut menyaksikan siaran berita di TV yang mengungkapkan tentang hasil keputusan MA tentang ujian nasional yang akhirnya dihapus. Entahlah bila masih dilakukan upaya hukum lain yang memungkinkan ujian nasional dilaksanakan. Alasan yang digunakan adalah adanya siswa-siswa yang selama tiga tahun di SMA memiliki prestasi lebih dari teman-temannya namun pada saat hasil ujian nasional dikabarkan ternyata tidak lulus.
Kembali terbayang dalam ingatan saya, saat menghadapi ujian nasional SMA kira-kira 5 tahun yang lalu. Waktu itu masih bernama UAN untuk mata pelajaran matematika, bahasa Indonesia dan bahasa inggris, sementara UAS untuk mata pelajaran selain mata pelajaran yang diujikan di UAN. Selain ujian tulis, beberapa mata pelajaran juga mengisyaratkan ujian praktikum seperti kimia, fisika, dan pendidikan jasmani dan kesehatan (PENJAS/KES ). Setelah hasil diumumkan, seorang teman akhirnya tidak lulus dan memilih untuk mengikuti ujian berikutnya.
Ujian nasional tidak hanya menjadi standar ukuran tingkat pengajaran di suatu sekolah yang menjadi pembanding dengan sekolah-sekolah lain. Terutama, untuk melihat tingkat pendidikan secara nasional karena soal yang diujikan sama. Meski, beberapa tahun yang lalu kenyataan bahwa banyak soal yang bocor sebelum diujikan tidak dapat dipungkiri. Ditambah dengan kecurangan-kecurangan lain yang terjadi selama ujian seperti menyontek antar teman, atau adanya pihak-pihak lain yang membantu memberikan jawaban.
Maka bagi yang tidak lulus ujian nasional, adalah mereka yang tidak siap untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Entah dari sisi keilmuan maupun dari segi mentalitas. Tentu saja, seseorang tidak dapat melanjutkan apabila nilai yang didapatkannya lebih rendah dari standar yang disyaratkan. Dari segi mental, ujian nasional merupakan ujian mental bagi siswa-siswi yang ikut karena mereka akan memasuki suatu dunia yang lebih “keras”dibandingkan dunia SMA.
Seandainya saya masih menjadi siswa SMA kelas III, saya menolak penghapusan ujian tersebut. Karena hanya melalui ujian nasional dapat dilihat sejauh mana kesenjangan antara siswa-siswa yang sekolah di kota dengan siswa-siswa yang sekolah di sekolah seperti daerah saya. Meskipun dengan berbagai keterbatasan baik sarana maupun prasarana, tapi bukankah sesuatu yang membanggakan bila sebagai anak daerah kita bisa menunjukkan bahwa dalam keterbatasan itu, kita bisa mensejajarkan diri dengan yang mendapatkan fasilitas yang lebih baik.
Memang banyak yang harus diperbaiki. Bagaimana distribusi guru ke daerah, keseimbangan pembangunan sarana prasarana di seluruh daerah, persiapan untuk menghadapi ujian nasional, dan sistem kurikulum yang ada di sekolah dan lain sebagainya. Tapi semua itu bukanlah alasan untuk menghapus ujian nasional. Tentu mengherankan bila seseorang yang di sekolah terkenal pintar namun di ujian nasional tidak lulus. Banyak hal yang membuat seseorang tidak lulus yang berhubungan dengan masalah teknis yang penting untuk segera diperbaiki. Menjadikan ujian nasional adalah momok yang menakutkan adalah sesuatu yang salah. Ujian nasional sebaiknya dijadikan sebuah rintangan yang wajib dilalui bila ingin memasuki level yang lebih tinggi.





Saturday, November 28, 2009

Keluarga dan Organisasi

Dalam sebuah pertemuan , penuh dengan perdebatan, ada dua orang yang bertanya. Seorang bertanya apa arti keluarga dan seorang lagi bertanya apa arti organisasi dengan penekanan pada kalimat silakan buka kamus dan cari tahu artinya.
Dari kamus bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008 yang saya temukan dalam bentuk pdf dijelaskan bahwa : ( Bila tidak percaya boleh dibuka dan dicari sendiri)
keluarga n 1 ibu bapak dng anak-anaknya;
seisi rumah; anak bini: ia pindah ke
Bandung bersama -- nya; 2 (kaum -- )
sanak saudara; kaum kerabat: ia sering
berkunjung ke Malaysia krn banyak --
nya tinggal di sana;

organisasi n susunan atau kesatuan dr berbagai-
bagai bagian (orang dsb) sehingga
merupakan kesatuan yg teratur: -- kaum
buruh;

Dari pemahaman di atas, feel yang ada dalam keluarga dan organisasi memiliki persamaan dan perbedaan. Meskipun saat ini begitu banyak cerita tentang kekejaman orang tua atau kedurhakaan sang anak, tetap dalam keluarga pada umumnya, keluarga adalah tempat untuk kembali. Saat seseorang tidak memiliki tempat di luar sana, maka tempat yang akan teringat adalah keluarga. Mengingatkan saya tentang cerita Anak yang Hilang dalam kitab suci. Saat ia tidak mengalami penderitaan yang luar biasa di suatu negeri yang jauh, ia mengingat akan keluarganya dan memutuskan kembali. Sang ayah menerima dia dengan sukacita meskipun anaknya telah memboroskan harta miliknya. Tentu saja keluarga harus dikelola dengan baik hingga tak perlu ada pertengkaran, kesenjangan dan hal-hal negative lain yang tidaklah akan sekaku dengan sebuah organisasi formal miliki.
Sebuah organisasi memiliki aturan yang baku, mungkin bernama PDO –peraturan dasar organisasi- , mungkin pula AD/ART – anggaran dasar/anggaran rumah tangga-, atau istilah lain yang memiliki arti yang hampir-hampir sama. Semuanya mengikat setiap anggotanya. Keluarga pun memiliki aturannya sendiri, meski tanpa tertulis tapi tetap ada aturan lisan yang menjadi arah dasar keluarga yang bersifat dinamis dalam pelaksanaannya. Adalah sesuatu yang indah saat sebuah keluarga dapat diorganisasikan dengan baik dan dalam sebuah organisasi seseorang menikmatinya seperti keluarga.


Nb : tulisan ini didedikasikan untuk "keluarga"ku yang sedang berseteru


Friday, November 20, 2009

Perpustakaan hari ini


Seperti hari-hari kemarin, bila tidak ada kegiatan yang menyibukkan di rumah sakit sebagai koass, dan ada kesempatan, maka hari ini saya menyempatkan diri ke perpustakaan fakultas. Letaknya di lantai 3 salah satu bangunan fakultas kedokteran tanpa lift sehingga harus menapaki selangkah demi selangkah hingga akhirnya sampai di perpustakaan.
Hari ini, keadaan tidak terlalu ramai, seperti halnya bila menjelang ujian, hingga kadang-kadang saya berpikir tempat itu bukan lagi perpustakaan karena hingar bingar diskusi teman-teman yang bersiap-siap untuk ujian. Dengan suhu udara yang sejuk, lumayan membuat betah.
Di pojok depan, beberapa orang mahasiswa sedang membaca-baca buku kedokteran. Mungkin sedang mencari bahan untuk tugas-tugas yang menumpuk. Sementara di baris-baris berikutnya beberapa teman angkatan di bawah saya sedang menikmati permainan game online. Sepertinya untuk membantu menghabiskan waktu sambil menunggu kuliah berikutnya dan sekaligus intermezzo di tengah-tengah kesibukan kuliah.
Di pojok lain, beberapa meter dari tempat saya mengambil tempat, dua orang mahasiswa , dari tampilan yang menggunakan jas praktikum , adalah mahasiswa angkatan di bawah saya, yang tanpa sengaja saya dengar sedang berlatih CSL, clinical skill lab. Mendengar cara latihan anamnesis – seorang menjadi pasien dan seorang lagi menjadi dokter- maka saya simpulkan mereka sedang berlatih tentang teknik anamnesis untuk pasien penyakit mata.
Mendengar para junior berlatih, mengingatkan pada keadaan 2 – 3 tahun yang lalu saat menjadi seperti mereka. Belajar dan berlatih. Meskipun pada saat itu, pandangan tentang pasien masih buram atau kabur secara khusus tentang cara menganamnesis pasien. Tapi setelah memasuki dunia klinik sebagai koas, hal-hal yang dulu masih belum saya pahami mulai jelas. Meski masih banyak yang perlu dipelajari.
Inti dari tulisan ini adalah bahwa, pada awalnya sebagai mahasiswa pre klinik kita tidak mengerti mengapa kita bertanya ini dan itu, mengapa penting untuk menggali lebih jauh suatu gejala hingga kadang terasa merepotkan pasien karena harus berpikir lebih lama untuk mengingat kembali proses perjalanan penyakitnya. Tapi, keadaan akan menjadi lebih baik, tidak akan ada ilmu yang tidak bermanfaat saat memasuki dunia klinik apalagi bila meninggalkan embel-embel muda di belakang kata dokter dan menjadi seutuhnya dokter dokter.
Sementara saya, duduk sambil menulis artikel ini sebagai bahan untuk memperbaharui blog saya di sini dan di premature doctor, membuka situs facebook dan email, dan bermain game. Hwa hwa hwa





Thursday, November 12, 2009

The Zahir : Review

Sampai suatu pagi, aku bangun dan mendapati diriku berpikir tentang hal lain, dan aku tahu bahwa yang terburuk sudah lewat. Hatiku mungkin masih sakit, tapi akan pulih dan akan mampu lagi melihat keindahan hidup. Itu pernah terjadi, dan akan terjadi lagi, aku yakin. Bila seseorang pergi, itu karena seseorang lain sudah waktunya dating – aku akan kembali menemukan cinta.

Demikian salah satu penggalan dari novel The Zahir yang akhirnya selesai saya baca. Setelah novel berjudul The Alchemist dan Eleven Minutes, The Zahir versi Indonesia menjadi novel ketiga karangan Paulo Coelho. Bukan cuma penggalan tersebut yang menarik. Setiap bagian dari novel ini sangat menarik untuk dibaca. Bukan sekedar rekomendasi.
Mungkin , bila menggunakan kata-kata sendiri novel ini bercerita tentang kompleksitas manusia dalam kesederhanaannya dan kesederhanaan yang kompleks. Simplicity of complex and complexity of simple. Novel ini, salah satu rekomendasi setelah dua novel lain dari Paulo Coelho The Alchemist dan Eleven Minutes.
Novel ini bercerita tentang seorang penulis yang tiba-tiba ditinggal pergi oleh istrinya, seorang wartawan perang, tanpa alasan apa-apa. Kepergian istrinya meninggalkan pertanyaan besar yang mengganggu pikirannya karena kenangan yang tak bisa dilupakan. Istrinya menjadi Zahir dalam hidupnya.
Pertanyaan itu kemudian mengubah dunianya, ia mulai menelusuri jejak-jejak kebersamaan bersama istrinya, dibantu oleh seseorang yang mau tidak mau harus dipercayanya. Seorang yang dekat dengan istrinya. Membuka matanya dengan makna cinta dan kekuatan takdir.
Suatu sore beberapa hari yang lalu, saat novel ini belum selesai saya baca, seseorang bertanya,” itu novel apa ?”. Tanpa berpikir panjang, langsung saya menjawab,” tentang cinta.” Awalnya, hanya sekedar menjawab pertanyaan sekedarnya. Bukan berdasarkan isi novel. Tapi setelah membaca keseluruhan buku ini, mungkin jawaban itu tidak ada salahnya. Novel ini menggambarkan tentang kekuatan cinta yang mampu mengubah manusia.
Zahir adalah seseorang atau sesuatu yang sekali kita mengadakan kontak dengannya atau dengan itu, lambat laun memenuhi seluruh pikiran kita, sampai kita tak bisa berpikir tentang hal-hal lain. Keadaan itu bisa dianggap sebagai tingkat kesucian atau kegilaan.