Monday, March 16, 2009

I Don't Want To Be A Doctor Anymore


Ide tulisan ini, berasal dari sebuah blog berjudul The Differential yang saya ikuti perkembangannya dengan judul yang sama dan ditulis oleh Kendra Campbell. So, why did you write another post that someone had done it ?

Alasannya sangat simple, karena saya pernah berpikir seperti itu. I don’t wanna be a doctor anymore. That’s enough. Saya tidak mau menjadi dokter lagi.

Cita-cita atau keinginan menjadi dokter itu muncul saat diterima lulus ujian SPMB. Sebelumnya bila ditanya , mau menjadi apa jawaban-jawaban yang saya berikan akan mengambang. Bahkan saya masih ingat, sebuah peristiwa samar-samar di kelas 2 SD saat guru bertanya ingin menjadi apa (apa cita-cita kamu) dan jawabannya waktu itu adalah menjadi tentara atau polisi. Tidak ada alasan memilih kedua bidang profesi tersebut. Mungkin hanya mengikut teman-teman cowok yang juga memilih ingin menjadi polisi atau tentara atau mungkin karena waktu itu polisi dan tentara seperti memiliki charisma dan kesan yang kuat. Yap, itulah pikiran seorang anak kecil yang berumur 6 -7 tahun.

Pada sebuah kejadian yang lain saat memasuki bangku SMA kelas 3, seorang bapak guru kembali bertanya mengenai pertanyaan yang sama kepada kami sekelas. Ia kemudian berkata, dengan gaya khasnya. Ah, ini pasti jadi pengacara atau hakim – katanya kepada teman sebangkuku yang sekarang sepertinya sudah menyelesaikan pendidikan sarjananya di fakultas hokum. Kemudian ia beralih pada temanku yang lain, ah dia ini pasti jadi dokter seperti kakaknya. Sambil bercanda beliau melanjutkan, jadi kalau saya atau ada dari kalian yang sakit tidak perlu membayar . cukup datang ke tempat prakteknya dan blablabla.

Kemudian beliau beralih pada saya, ah, kalau si attonk (seingatku beliau memanggilku begitu mengingat kami masih memiliki hubungan keluarga) dia mungkin meneruskan orang tuanya masuk di teknik ( yaps orang tua saya adalah pegawai di dinas pekerjaan umum). Dan blablabla. Tidak ada bayangannya bahwa suatu saat, ketika ujian SPMB saya akan memilih fakultas kedokteran sebagai pilihan pertama dan jurusan kimia sebagai pilihan kedua. Kalau tidak lulus di kedua jurusan itu, untung-untungan masuk di jurusan akuntasi sebagai pilihan ketiga yang sama sekali bukan bidang saya.

Orang tua meskipun tidak memaksakan tapi mereka berkeinginan saya menjadi seorang dokter mengikuti jejak seorang sepupu yang telah lebih dulu memasuki dunia kedokteran. Semua pilihan tetap ada di tangan saya. Dan bujukan itupun muncul saat mengikuti sebuah bimbingan belajar persiapan SPMB. Karena nilai yang lumayan baik, beberapa tentor yang akrab dengan saya mencoba masuk di fakultas kedokteran dengan alasan nilai-nilai dari beberapa try out yang saya ikuti. Akhirnya, seperti sudah disebutkan, fakultas kedokteran jadi pilihan pertama.

Thank God, saya berhasil lulus. Beritanya saya dapatkan melalui koran yang secara khusus meliput tentang nama-nama yang lulus. Yang waktu itu, kalau gak salah dijual dengan harga dua puluh ribu rupiah. Nomor ujian waktu itu sudah saya lupa. Maklum sudah 4 ½ tahun sudah berlalu.

Tahun-tahun pertama berlalu, dan meskipun sudah selangkah maju untuk menjadi dokter. Alasan dan cita-cita menjadi dokter belum tertanam kuat. Yang lebih kuat adalah kebanggaan menjadi anak kedokteran – yang dalam pikiran sempit superioritas dibanding fakultas eksak lain. maaf, seperti yang ditulis dalam kalimat sebelumnya ‘ dalam pikiran sempit ‘ karena pada kenyataannya dan hakikinya semua jurusan memiliki kelebihannya masing-masing. Memiliki janji dan peluangnya masing-masing setelah melewati jenjang kuliah.

Dunia koas atau bahasa kerennya clerkship berlalu sudah sekitar setahun lebih. 4 ½ tahun berperan sebagai calon dokter bahkan sudah menyelesaikan pendidikan preklinik dengan gelar S.Ked masih memberikan pertanyaan – dalam pikiran saya kadang-kadang – apa benar saya akan menjadi seorang dokter ? apa benar ini jalan hidup saya ?

Kemampuan bertahan hingga saat ini mungkin saya dapat dari keluarga, teman-teman senasib yang sama-sama merasakan suka duka sebagai koas dan orang-orang yang tanpa mereka tahu dan mereka inginkan menjadi objek dari pendidikan kami. Meskipun pada faktanya, kamipun kadang menjadi objek.

Saat merawat orang-orang tersebut, terutama saat di bagian penyakit dalam, ada sebuah sentakan keinginan untuk menjadi dokter. Suatu keinginan yang dulu bersifat angin-anginan. Melihat orang-orang yang tergolek lemah tak berdaya, dan menyaksikan sebuah proses –dan terlibat di dalamnya – dengan akhir bahwa orang tersebut dapat kembali berkumpul dengan keluarganya kembali dalam keadaan sehat merupakan sebuah pengalaman yang luar biasa dahsyat.

Pengalaman lain ketika satu dua dari mereka tidak mampu bertahan dan akhirnya harus merelakan bahwa mereka tidak punya waktu lagi. Melihat para kerabat berdatangan memberi semangat – kecuali di bagian jiwa -. Why ??? Memang ironi bila saya berkata bahwa saat anda berkunjung ke rumah sakit umum saat tengah malam, anda kemungkinan besar bertemu dengan para penunggu pasien yang jumlahnya tak sebanding, namun bila anda berkunjung ke sebuah rumah sakit jiwa dan bertanya ada berapa orang keluarga yang mengunjungi seorang pasien dalam sebulan, anda kemungkinan besar mendapat jawaban 0. Mudah-mudahan ini hanya terjadi di tempat ini.

Apa yang akan terjadi berikutnya ? saya sendiri tidak tahu. Apakah pernyataan I don’t wanna be a doctor anymore hanya merupakan suatu proses untuk menuju pernyataan lain I do be a doctor someday.






[get this widget]

No comments: