Berita terbaru dari wakil rakyat kita adalah tertangkap basahnya seorang wakil kita di DPR akibat kasus suap dengan dinas perhubungan. Inisialnya …. Blablabla . Dalam postingan ini, tidak akan menyangkut berita tersebut di atas. Meskipun sedikit banyak mempunyai keterkaitan.
Kalau dulu di sekolah diajarin PEMILU itu pendekan dari pemilihan umum. Sama seperti waktu masih SD kelas 1 diajarin, ini budi. Kalau gak salah ingat pemilu itu diadain 5 tahun sekali buat milih “katanya” wakil kita di DPR. Orang-orang yang bakal menyalurkan aspirasi masyarakat yang sudah memilihnya.
Kalau dulu di sekolah diajarin PEMILU itu pendekan dari pemilihan umum. Sama seperti waktu masih SD kelas 1 diajarin, ini budi. Kalau gak salah ingat pemilu itu diadain 5 tahun sekali buat milih “katanya” wakil kita di DPR. Orang-orang yang bakal menyalurkan aspirasi masyarakat yang sudah memilihnya.
So, mari kita flash back 5 tahun kebelakang. Apa aja yang sudah “para wakil” kita telah lakukan untuk kita sebagai orang-orang yang telah memilih mereka. Kalau ditimbang-timbang, mana yang bakalan lebih berat, nilai positif atau negative dari “para wakil” kita itu. Berapa banyak peraturan dan tindakan yang mereka buat untuk kepentingan masyarakat. Silakan memberi penilaian sendiri.
Oke, balik lagi ke kondisi sekarang, saya mengambil contoh di kota Makassar tempat berdomisili sekarang. Mungkin pula keadaan yang sama dapat ditemukan di kota-kota lain di Indonesia. Di hampir seluruh penjuru jalan banyak artis-artis instan yang majang sampah-sampah yang merusak pemandangan dibandingkan memberikan pendidikan politik bagi yang lewat.
Bayangkan saja, pada satu lokasi seperti gerbang perumahan atau di sekitar pusat perbelanjaan, di pertigaan jalan, baliho-baliho dari ukuran kecil sampai segede jumbo dapat ditemukan dalam jumlah yang luar biasa dahsyat. Bikin puyeng kepala yang lewat.
Tidak sampai di situ saja, rumah-rumah makan , bahkan rumah sakit dan rumah ibadah tak lepas dari tempat “menjual janji” bagi para calon wakil rakyat ini. Bukan dalam bentuk baliho lagi, tapi yang lebih kecil, poster-poster, kalender meja atau pun kalender dinding, dan bentuk-bentuk lainnya. Bayangkan,saat makan di sebuah rumah makan seafood terdapat sekitar 5-7 poster dengan wajah dan partai berbeda dalam senyum-senyum semisteri lukisan monalisa.
Pengalaman baru sehabis pulang ibadah minggu malam kemarin di sebuah gereja ada dua orang yang menyebarkan selebaran-selebaran kecil saat pulang yang berisi tentang kandidat calon wakil rakyat. Ya visi misi, profilnya, deelel. Yang penting bisa menjual.
Di tv, gak perlu ditanya lagi. Hampir tiap kali iklan pasti ada iklan parpol di antaranya. Entahlah, mungkin masih banyak yang percaya. Setiap kali ada diskusi atau dialog pasti ada yang mengucapkan frase “atas nama rakyat” , “rakyat”, atau “ rakyat Indonesia”. Sebenarnya, rakyat yang mereka maksud itu siapa ? mereka menguniversalkan secuil orang yang memilih mereka dengan kata “rakyat”. Entahlah..
Pemilihan umum tidak akan lama lagi, sisa menghitung hari. Apakah satu suara saat itu akan mampu mengubah 5 tahun ke depan menjadi lebih baik dengan orang yang itu-itu juga ? Seseorang pernah berkata bahwa saat itu kita hanya akan memilih musang yang dulunya berbaju kuning atau merah atau apalah yang sekarang memakai baju dengan warna yang lain. Memang dari luar tampak berbeda dengan perubahan warna, tapi dalamnya tetap sama saja, musang. Atau kalau boleh meminjam istilah bang Iwan, tikus-tikus berdasi.
Salam damai
[get this widget]
1 comment:
Tetap harus nyoblos.
Tetap ada yang lebih baik di antara yang kurang baik.
Post a Comment