Seberapa banyak “reality show” yang tayang di televisi-televisi nasional ? Mulai dari pencarian cinta, mencari anak yang hilang, baikan, dan tema-tema lain yang mencoba untuk menguras air mata para penonton setianya yang secara tidak sadar terbawa oleh suasana yang ditampilkan dalam tayangan “reality show tersebut”.
Tapi, apakah semua itu benar-benar reality show ?
atau hanya sekedar tontonan yang dibuat entah dengan dasar kejadian sebenarnya atau hanya rekaan fiktif yang dipikirkan oleh tokoh-tokoh di belakang layar seperti sutradara, produser, penulis naskah untuk meningkatkan rating program yang secara langsung maupun tidak akan menghadirkan sejumlah sponsor dari iklan-iklan sepanjang penayangan acara tersebut.
Percaya atau tidak, saat menonton atau menikmati acara yang disebut ‘reality show” , semua akan dibawa pada sebuah imajinasi tentang tema yang dibawakan dalam tayangan. Entah itu perselingkuhan, atau cerita tentang kebohongan yang seolah-olah untuk kebaikan, atau tentang kilas balik cinta pertama dan tema lainnya. Mungkin kita memandang itu sebagai reality show karena seperti itulah yang terjadi dalam kehidupan di sekitar kita. Penulis naskah dan para pemain hanya menunjukkannya dalam sebuah acara yang diberi tajuk “reality show”.
Memang tidak ada fakta bahwa yang benar-benar memastikan bahwa tayangan-tayangan tersebut sebenarnya bukanlah reality show seperti yang menjadi trade mark acara. Tapi bila membaca salah satu artikel yang mungkin bisa dipercaya, sepertinya batasan antara yang nyata dan imajinasi sangat kabur. Seperti halnya halusinasi yang dialami oleh seorang skizofenia yang dianggapnya adalah kebenaran. Atau halnya de javu yang kita ragukan apakah benar-benar pernah terjadi.
Tapi, apakah semua itu benar-benar reality show ?
atau hanya sekedar tontonan yang dibuat entah dengan dasar kejadian sebenarnya atau hanya rekaan fiktif yang dipikirkan oleh tokoh-tokoh di belakang layar seperti sutradara, produser, penulis naskah untuk meningkatkan rating program yang secara langsung maupun tidak akan menghadirkan sejumlah sponsor dari iklan-iklan sepanjang penayangan acara tersebut.
Percaya atau tidak, saat menonton atau menikmati acara yang disebut ‘reality show” , semua akan dibawa pada sebuah imajinasi tentang tema yang dibawakan dalam tayangan. Entah itu perselingkuhan, atau cerita tentang kebohongan yang seolah-olah untuk kebaikan, atau tentang kilas balik cinta pertama dan tema lainnya. Mungkin kita memandang itu sebagai reality show karena seperti itulah yang terjadi dalam kehidupan di sekitar kita. Penulis naskah dan para pemain hanya menunjukkannya dalam sebuah acara yang diberi tajuk “reality show”.
Memang tidak ada fakta bahwa yang benar-benar memastikan bahwa tayangan-tayangan tersebut sebenarnya bukanlah reality show seperti yang menjadi trade mark acara. Tapi bila membaca salah satu artikel yang mungkin bisa dipercaya, sepertinya batasan antara yang nyata dan imajinasi sangat kabur. Seperti halnya halusinasi yang dialami oleh seorang skizofenia yang dianggapnya adalah kebenaran. Atau halnya de javu yang kita ragukan apakah benar-benar pernah terjadi.