Atau kita yang tidak menghargai milik kita sendiri
Minggu-minggu terakhir ini , televisi-televisi nasional menayangkan mengenai penggunaan salah satu budaya bangsa Indonesia khususnya Bali yaitu Tari Pendet oleh negara tetangga kita untuk promosi pariwisata negara tetangga di Discovery Channel. Tari yang menurut berita dilakukan di Bali oleh orang-orang Indonesia dan direkam oleh orang-orang Indonesia. Ramai-ramai masyarakat memprotes dan menolak penggunaan budaya kita tersebut. Entah karena sadar bahwa mereka kecurian budaya mereka, sekedar ikut-ikutan hingga tidak disebut penghianat , sekedar solidarisme tanpa tahu apa-apa atau sebab lain. Mudah-mudahan lebih pada karena kesadaran akan budaya bangsa kita.
Beberapa bulan sebelumnya, negara tetangga (baca : Malaysia) kita juga menggunakan lagu daerah Indonesia Rasa Sayange sebagai iklan pariwisata. Kemudian, klaim Reog, keris, angklung, batik dan entah apa lagi berikutnya. Bahkan bahasa Indonesia pun ingin diklaim. Kemudian wacana yang saat ini berkembang adalah penggubahan lagu "Terang Bulan" menjadi lagu kebangsaan negara tetangga "Negaraku". Wacana tersebut mengemuka beberapa saat, tapi kemudian meredup hingga muncul kembali kejadian serupa. Bukankah itu berarti seperti pepatah jatuh dua kali di lubang yang sama ?
Hampir semua potensi budaya kita ingin diklaim oleh negara lain. Bahasa, lagu, tari-tarian, alat music, peninggalan sejarah. Protes mengalir, hingga rencana melakukan proses hukum terhadap perbuatan negara tetangga tersebut. Upaya hak cipta pun terus diupayakan.
Dari sisi lain, apakah negara tetangga tersebut salah ? Atau malah kita sebagai bangsa Indonesia yang kurang menghargai budaya bangsa sendiri ? Bukan bermaksud membela negara tetangga, tentu negara tetangga memiliki kesalahan. Menggunakan budaya kita tanpa izin untuk kepentingan promosi pariwisata di negara tersebut. Boleh dikata kebohongan universal karena mereka menawarkan apa yang bukan menjadi hak mereka sama halnya dengan menjual sesuatu yang bukan milik sendiri kemudian menikmati hasilnya tanpa diketahui oleh pemilik yang sah.
Dalam sebuah berita di sebuah stasiun TV yang mengulas mengenai laporan wawancara wartawan dengan sejumlah warga masyarakat mengenai pengetahuan tentang budaya negara sendiri, ternyata kemampuan para responden sangat kurang. Rata-rata hanya mampu menjawab tiga hingga empat macam tarian dari sekian banyak tarian yang ada di Indonesia. Sekian banyak karena kita sendiri tidak tahu berapa banyak kekayaan budaya kita. Mungkin orang-orang dari dinas pariwisata tahu tapi masyarakat kebanyakan pasti tidak. Budaya dari sekian suku, sekian daerah, sekian pulau yang ada di Indonesia.
Sudah berkali-kali negara tetangga memakai budaya kita, mungkin karena bangsa kita yang permisif atau karena kita tidak tahu sejauh mana kekayaan budaya kita. Upaya-upaya menyelamatkannya hanya bersifat incidental, hanya bila ada tayangan tentang pemanfaatan budaya kita oleh negara lain tanpa sepengetahuan kita. Seperti kegiatan kuratif dan rehabilitative terhadap penyakit tanpa upaya-upaya preventif dan promotif.
Kembali pada tema, apakah negara tetangga kita yang tidak memiliki budaya hingga harus menggunakan budaya kita untuk promosi pariwisatanya atau kita yang tidak menghargai budaya kita sendiri hingga bangsa lain menggunakannya ?
Minggu-minggu terakhir ini , televisi-televisi nasional menayangkan mengenai penggunaan salah satu budaya bangsa Indonesia khususnya Bali yaitu Tari Pendet oleh negara tetangga kita untuk promosi pariwisata negara tetangga di Discovery Channel. Tari yang menurut berita dilakukan di Bali oleh orang-orang Indonesia dan direkam oleh orang-orang Indonesia. Ramai-ramai masyarakat memprotes dan menolak penggunaan budaya kita tersebut. Entah karena sadar bahwa mereka kecurian budaya mereka, sekedar ikut-ikutan hingga tidak disebut penghianat , sekedar solidarisme tanpa tahu apa-apa atau sebab lain. Mudah-mudahan lebih pada karena kesadaran akan budaya bangsa kita.
Beberapa bulan sebelumnya, negara tetangga (baca : Malaysia) kita juga menggunakan lagu daerah Indonesia Rasa Sayange sebagai iklan pariwisata. Kemudian, klaim Reog, keris, angklung, batik dan entah apa lagi berikutnya. Bahkan bahasa Indonesia pun ingin diklaim. Kemudian wacana yang saat ini berkembang adalah penggubahan lagu "Terang Bulan" menjadi lagu kebangsaan negara tetangga "Negaraku". Wacana tersebut mengemuka beberapa saat, tapi kemudian meredup hingga muncul kembali kejadian serupa. Bukankah itu berarti seperti pepatah jatuh dua kali di lubang yang sama ?
Hampir semua potensi budaya kita ingin diklaim oleh negara lain. Bahasa, lagu, tari-tarian, alat music, peninggalan sejarah. Protes mengalir, hingga rencana melakukan proses hukum terhadap perbuatan negara tetangga tersebut. Upaya hak cipta pun terus diupayakan.
Dari sisi lain, apakah negara tetangga tersebut salah ? Atau malah kita sebagai bangsa Indonesia yang kurang menghargai budaya bangsa sendiri ? Bukan bermaksud membela negara tetangga, tentu negara tetangga memiliki kesalahan. Menggunakan budaya kita tanpa izin untuk kepentingan promosi pariwisata di negara tersebut. Boleh dikata kebohongan universal karena mereka menawarkan apa yang bukan menjadi hak mereka sama halnya dengan menjual sesuatu yang bukan milik sendiri kemudian menikmati hasilnya tanpa diketahui oleh pemilik yang sah.
Dalam sebuah berita di sebuah stasiun TV yang mengulas mengenai laporan wawancara wartawan dengan sejumlah warga masyarakat mengenai pengetahuan tentang budaya negara sendiri, ternyata kemampuan para responden sangat kurang. Rata-rata hanya mampu menjawab tiga hingga empat macam tarian dari sekian banyak tarian yang ada di Indonesia. Sekian banyak karena kita sendiri tidak tahu berapa banyak kekayaan budaya kita. Mungkin orang-orang dari dinas pariwisata tahu tapi masyarakat kebanyakan pasti tidak. Budaya dari sekian suku, sekian daerah, sekian pulau yang ada di Indonesia.
Sudah berkali-kali negara tetangga memakai budaya kita, mungkin karena bangsa kita yang permisif atau karena kita tidak tahu sejauh mana kekayaan budaya kita. Upaya-upaya menyelamatkannya hanya bersifat incidental, hanya bila ada tayangan tentang pemanfaatan budaya kita oleh negara lain tanpa sepengetahuan kita. Seperti kegiatan kuratif dan rehabilitative terhadap penyakit tanpa upaya-upaya preventif dan promotif.
Kembali pada tema, apakah negara tetangga kita yang tidak memiliki budaya hingga harus menggunakan budaya kita untuk promosi pariwisatanya atau kita yang tidak menghargai budaya kita sendiri hingga bangsa lain menggunakannya ?
No comments:
Post a Comment