Memasuki pekan suci tahun ini, ada beberapa kejadian yang mungkin pantas untuk direnungkan. Dalam dua kesempatan yang berbeda saya terlibat dalam diskusi ringan seputar agama yang intinya –menurut saya adalah – sebenarnya agama mana yang paling benar ?
Dalam diskusi pertama, saya lebih menjadi pendengar bagaimana seseorang yang lahir dan besar dalam sebuah agama mencoba mencari pengenalan diri akan agama mana yang paling benar yang menuntunnya menjadi seorang “atheis” dan mempelajari –entah seberapa jauh beliau belajar tentang masing-masing agama- dan pada akhirnya kembali meyakini agama yang diyakini keluarganya. Selain itu, bagaimana orang lain memandang mengenai agama yang satu dengan agama yang diyakininya yang menurut beliau telah dikonfirmasikan dengan umat dari agama tersebut-. Satu hal yang menarik adalah bahwa seorang atheis itu bukanlah orang yang tidak mempercayai satu ajaran agama untuk diyakini melainkan orang yang tidak mau tahu tentang sekitarnya, orang yang tidak ingin mempelajari agama dan meyakininya.
Dalam diskusi yang kedua, pada awalnya membahas mengenai pemilu hari ini –yang entah bagaimana pada akhirnya – kemudian mendiskusikan mengenai aliran dalam suatu agama yang memiliki perbedaan dengan mengambil dasar pada kitab suci yang sama. Namun memiliki penafsiran yang sedikit berbeda dan menitikberatkan pada ayat-ayat tertentu.
Lalu, apa yang dapat direnungkan dari dua pengalaman tersebut? Manusia telah diberi otak untuk berfikir, memilih dan menentukan. Manusia memiliki hati yang siap menyuarakan “kebenaran” saat belum tercemar oleh keduniawian. Walau bagaimana pun setiap penganut keyakinan pasti meyakini keyakinannyalah yang paling benar. Sehingga, akan selalu ada perbedaan yang akan memisahkan tiap agama. Tapi, apakah perbedaan itu tidak dapat dikesampingkan untuk menegakkan kedamaian ? Atau setidaknya, menjadi penyebar apa yang kita yakini dengan cara-cara damai ?
Entah salah entah benar, ada sebuah ungkapan bahwa hanya ada satu kebenaran. Yang membedakan adalah bagaimana orang memiliki persepsi tentang kebenaran itu. Ungkapan tersebut masih menjadi pertanyaan.
Dalam diskusi pertama, saya lebih menjadi pendengar bagaimana seseorang yang lahir dan besar dalam sebuah agama mencoba mencari pengenalan diri akan agama mana yang paling benar yang menuntunnya menjadi seorang “atheis” dan mempelajari –entah seberapa jauh beliau belajar tentang masing-masing agama- dan pada akhirnya kembali meyakini agama yang diyakini keluarganya. Selain itu, bagaimana orang lain memandang mengenai agama yang satu dengan agama yang diyakininya yang menurut beliau telah dikonfirmasikan dengan umat dari agama tersebut-. Satu hal yang menarik adalah bahwa seorang atheis itu bukanlah orang yang tidak mempercayai satu ajaran agama untuk diyakini melainkan orang yang tidak mau tahu tentang sekitarnya, orang yang tidak ingin mempelajari agama dan meyakininya.
Dalam diskusi yang kedua, pada awalnya membahas mengenai pemilu hari ini –yang entah bagaimana pada akhirnya – kemudian mendiskusikan mengenai aliran dalam suatu agama yang memiliki perbedaan dengan mengambil dasar pada kitab suci yang sama. Namun memiliki penafsiran yang sedikit berbeda dan menitikberatkan pada ayat-ayat tertentu.
Lalu, apa yang dapat direnungkan dari dua pengalaman tersebut? Manusia telah diberi otak untuk berfikir, memilih dan menentukan. Manusia memiliki hati yang siap menyuarakan “kebenaran” saat belum tercemar oleh keduniawian. Walau bagaimana pun setiap penganut keyakinan pasti meyakini keyakinannyalah yang paling benar. Sehingga, akan selalu ada perbedaan yang akan memisahkan tiap agama. Tapi, apakah perbedaan itu tidak dapat dikesampingkan untuk menegakkan kedamaian ? Atau setidaknya, menjadi penyebar apa yang kita yakini dengan cara-cara damai ?
Entah salah entah benar, ada sebuah ungkapan bahwa hanya ada satu kebenaran. Yang membedakan adalah bagaimana orang memiliki persepsi tentang kebenaran itu. Ungkapan tersebut masih menjadi pertanyaan.
Ajari kami Tuhan
Hidup kami sangatlah rapuh ya Tuhan
Berjalan seorang diri melewati hari-hari
Menatap matahari dan bulan berganti menerangi
Atau menatap langit mencari kebenaran
Perjalanan kami tak ada arah tanpaMu ya Tuhan
Berziarah di dunia fana
Dimana kebenaran dan kebohongan berbeda setipis kabut pagi
Saat suara hati kami tak mampu menandingi dahsyatnya tawaran dunia
Ajari kami ya Tuhan mengerti tentang kebenaran yang hakiki
Ajari kami Tuhan menatap hari seperti Engkau
Ajari kami memahami setiap anugrah yang Engkau curahkan pada kami
Ajarlah kami menjadi sempurna spertiMu
Karena kami manusia rapuh tanpaMu
Hidup kami sangatlah rapuh ya Tuhan
Berjalan seorang diri melewati hari-hari
Menatap matahari dan bulan berganti menerangi
Atau menatap langit mencari kebenaran
Perjalanan kami tak ada arah tanpaMu ya Tuhan
Berziarah di dunia fana
Dimana kebenaran dan kebohongan berbeda setipis kabut pagi
Saat suara hati kami tak mampu menandingi dahsyatnya tawaran dunia
Ajari kami ya Tuhan mengerti tentang kebenaran yang hakiki
Ajari kami Tuhan menatap hari seperti Engkau
Ajari kami memahami setiap anugrah yang Engkau curahkan pada kami
Ajarlah kami menjadi sempurna spertiMu
Karena kami manusia rapuh tanpaMu
Selamat memasuki pekan suci
Attonk
[get this widget]
No comments:
Post a Comment