oleh: P. William P. Saunders *
The Washington Times memuat artikel yang memberitakan bahwa Presiden Clinton dan Monica Lewinsky melakukan phone sex dan oral sex. Diberitakan pula bahwa ia telah meneliti Kitab Suci dan menyimpulkan bahwa oral sex bukan merupakan tindak perzinahan. Bukankah phone sex, oral sex dan masturbasi itu dosa?
~ seorang pembaca yang muak di Centreville
Straight Answers menerima beberapa pertanyaan serupa dari pembaca mengenai petualangan cinta Presiden Clinton seperti diberitakan di media massa. Adalah di luar maksud artikel ini untuk mengomentari perilaku seperti yang dituduhan kepada Presiden, tetapi marilah kita membahasnya dari sudut pandang moral.Sebelum membahas perilaku seperti disebutkan dalam pertanyaan di atas, pertama-tama haruslah kita memiliki pemahaman yang jelas mengenai ajaran Gereja Katolik mengenai ungkapan cinta kasih secara seksual. Gereja Katolik tak henti-hentinya mengajarkan bahwa hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan adalah baik dan sakral, sepanjang keduanya terikat dalam perkawinan. Ajaran ini berdasarkan pada kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian, “Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Sebab itu, setiap orang memiliki martabat yang tak dapat diganggu gugat. Dalam ayat selanjutnya, Kitab Suci mencatat, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: `Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu'” (Kej 1:28). Sebelum laki-laki dan perempuan itu hidup bersama sebagai suami isteri, dan sebelum mereka mengungkapkan cinta kasih suami isteri, pertama-tama mereka diberkati oleh Tuhan.
Hanya dalam perkawinan kita dapat memperoleh berkat Tuhan atas tindakan cinta kasih secara seksual, atau lebih tepat dikatakan sebagai cinta kasih suami isteri. Ungkapan cinta kasih secara fisik dalam perkawinan ini merupakan tanda sakral akan ikatan suami isteri dalam persekutuan hidup dan cinta kasih yang saling mereka bagi bersama dalam persatuan dengan Tuhan. Cinta kasih suami isteri ini memberi makna pada janji perkawinan yang secara sukarela mereka ikrarkan satu sama lain dan dengan demikian mencerminkan cinta kasih yang setia, permanen, eksklusif dan saling memberi diri seperti yang telah mereka ikrarkan satu dengan yang lainnya, dan dengan Tuhan.
Pemahaman ini dipertegas dengan tanggapan Yesus Sendiri atas pertanyaan kaum Farisi mengenai perceraian, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:4-6). Melalui Sakramen Perkawinan, Tuhan memberkati pasangan yang dipersatukan dalam ikatan kudus ini dan dengan murah hati melimpahkan rahmat atas mereka sehingga mereka dapat memikul tanggung jawab perkawinan bersama dan saling setia selamanya.
Di samping itu, cinta kasih suami isteri yang mempersatukan mereka sebagai “satu daging” memungkinkan mereka untuk ikut ambil bagian dalam karya kasih penciptaan Allah: seorang anak mungkin terlahir dari cinta kasih mereka. Lalu, lagi, Tuhan mencurahkan rahmat berlimpah ke atas mereka agar pasangan suami isteri ini dapat menunaikan tugas kewajiban sebagai ayah dan ibu. Sebab itu, sesuai rancangan Allah, cinta kasih secara seksual diperuntukkan hanya bagi mereka yang ada dalam ikatan perkawinan dengan senantiasa setia memelihara tujuan perkawinan, yaitu kesatuan penuh cinta dan pembiakan. Segala tindakan yang menyimpang dari rancangan ini pada hakekatnya jahat. Inilah ajaran tegas Kitab Suci dan ajaran konsisten Gereja kita.
Pelanggaran terhadap ikatan cinta kasih perkawinan, baik secara fisik maupun batin, baik dilakukan seorang diri maupun bersama yang lain, merupakan perzinahan. Patut diingat Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita, “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat 5:27-28). Tuhan kita mengangkat cinta kasih perkawinan yang setia, permanen, eksklusif dan saling memberi diri, ke tingkat kekudusan yang lebih tinggi.
Dengan dasar pemahaman di atas, sekarang marilah kita membahas masalah yang dipertanyakan: phone sex, oral sex dan masturbasi. Saya kurang mengerti apa sebenarnya “phone sex”, yang jelas ia merupakan bagian dari nafsu berahi. Nafsu berahi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai hasrat yang berkobar akan kenikmatan seksual. Kenikmatan semacam itu dianggap tak teratur apabila dicari demi kepentingan sendiri, terlepas dari hakekat tujuan perkawinan. Orang dapat menganggap “phone sex” sebagai suatu bentuk pornografi di mana aktivitas yang baik bagi perkawinan ditinggalkan dan dipergunakan untuk membangkitkan hasrat seksual pribadi. Dengan demikian, orang menarik dari dari dunia nyata dan tenggelam dalam dunia khayalan. Perilaku yang demikian dikejar demi kenikmatan diri sendiri yang egois. Pada dasarnya, “phone sex” atau segala bentuk pornografi lainnya mencemarkan kebajikan perkawinan dan dengan demikian mengakibatkan dosa berat.
Mempergunakan dan mencari kenikmatan dari alat-alat perangsang pornografi berhubungan dengan perilaku masturbasi, yaitu “rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja dengan tujuan membangkitkan kenikmatan seksual” (Katekismus Gereja Katolik, No 2352). Gereja secara konsisten mengajarkan bahwa masturbasi pada hakekatnya merupakan satu tindakan yang sangat bertentangan dengan ketertiban. Bahkan dalam Kitab Kejadian, kita dapat membaca kutukan atas perilaku masturbasi dalam kisah Onan yang “membiarkan maninya terbuang,” suatu tindakan yang membangkitkan murka Allah (Kej 38:8-10); dari kisah ini muncul istilah “onani”, yang sama artinya dengan masturbasi. (Istilah “onani” dikhususkan jika subyeknya adalah laki-laki). Masturbasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan seorang diri, yang timbul karena orang menenggelamkan diri ke dalam dunia fantasi, yang dilakukan demi kenikmatan sendiri yang egois. Masturbasi mencemarkan cinta kasih yang saling memberikan diri antara suami isteri.
Secara obyektif, masturbasi merupakan dosa berat. Namun demikian, Katekismus Gereja Katolik mengingatkan, “Supaya membentuk satu penilaian yang matang mengenai tanggung jawab moral dari mereka yang bersalah dalam hal ini, dan untuk menyusun bimbingan rohani supaya menanggapinya, orang harus memperhatikan ketidakmatangan afektif, kekuatan kebiasaan yang sudah mendarah daging, suasana takut dan faktor-faktor psikis atau kemasyarakatan yang lain, yang dapat mengurangkan kesalahan moral atau malahan menghilangkannya sama sekali” (No. 2352).
Yang terakhir, oral sex menyangkut ejakulasi seorang laki-laki ke dalam mulut seorang laki-laki lain atau seorang perempuan. Dikenal pula sodomi yang menyangkut ejakulasi seorang laki-laki ke dalam anus seorang laki-laki lain atau seorang perempuan. Suatu teks klasik kuno, Buku Pedoman Teologi Moral mencatat, “Sodomi adalah dosa yang berteriak ke surga menuntut balas dendam.” Di sini kita melihat dengan jelas pencemaran terhadap cinta kasih perkawinan, dan juga suatu tindakan yang pada hakekatnya jahat, yang mengakibatkan dosa berat.
Setiap tindakan di atas melanggar Perintah Keenam dari Sepuluh Perintah Allah, “Jangan berzinah.” Kita harus ingat bahwa setiap kita dipanggil untuk hidup murni. Seperti dijabarkan dalam Katekismus, “Kemurnian berarti integrasi seksualitas yang membahagiakan di dalam pribadi dan selanjutnya kesatuan batin manusia dalam keberadaannya secara jasmani dan rohani” (No 2337). Kemurnian memampukan kita untuk menghormati martabat seksualitas manusiawi kita dan menghormati kekudusan cinta kasih perkawinan. Kemurnian mendorong kita untuk memandang setiap orang sebagai suatu pribadi, bukan sebagai suatu tubuh belaka, dan menghormati hakekat martabat mereka. Dalam kemurnian, orang berjuang untuk menguasai perasaan dan hasrat, menghargai kesucian cinta kasih suami isteri, dan berani bertanggung jawab atas perbuatannya.
Tentu saja kita membutuhkan rahmat Tuhan dan bimbingan Roh Kudus agar dapat hidup murni, teristimewa dalam abad dengan segudang pencobaan besar ini.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Are Oral Sex and Phone Sex Wrong?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1997 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald
http://uploads.bizhat.com/signup.php?ref=attonk
http://klikrupiah.com/register.php?r=attonk
The Washington Times memuat artikel yang memberitakan bahwa Presiden Clinton dan Monica Lewinsky melakukan phone sex dan oral sex. Diberitakan pula bahwa ia telah meneliti Kitab Suci dan menyimpulkan bahwa oral sex bukan merupakan tindak perzinahan. Bukankah phone sex, oral sex dan masturbasi itu dosa?
~ seorang pembaca yang muak di Centreville
Straight Answers menerima beberapa pertanyaan serupa dari pembaca mengenai petualangan cinta Presiden Clinton seperti diberitakan di media massa. Adalah di luar maksud artikel ini untuk mengomentari perilaku seperti yang dituduhan kepada Presiden, tetapi marilah kita membahasnya dari sudut pandang moral.Sebelum membahas perilaku seperti disebutkan dalam pertanyaan di atas, pertama-tama haruslah kita memiliki pemahaman yang jelas mengenai ajaran Gereja Katolik mengenai ungkapan cinta kasih secara seksual. Gereja Katolik tak henti-hentinya mengajarkan bahwa hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan adalah baik dan sakral, sepanjang keduanya terikat dalam perkawinan. Ajaran ini berdasarkan pada kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian, “Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Sebab itu, setiap orang memiliki martabat yang tak dapat diganggu gugat. Dalam ayat selanjutnya, Kitab Suci mencatat, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: `Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu'” (Kej 1:28). Sebelum laki-laki dan perempuan itu hidup bersama sebagai suami isteri, dan sebelum mereka mengungkapkan cinta kasih suami isteri, pertama-tama mereka diberkati oleh Tuhan.
Hanya dalam perkawinan kita dapat memperoleh berkat Tuhan atas tindakan cinta kasih secara seksual, atau lebih tepat dikatakan sebagai cinta kasih suami isteri. Ungkapan cinta kasih secara fisik dalam perkawinan ini merupakan tanda sakral akan ikatan suami isteri dalam persekutuan hidup dan cinta kasih yang saling mereka bagi bersama dalam persatuan dengan Tuhan. Cinta kasih suami isteri ini memberi makna pada janji perkawinan yang secara sukarela mereka ikrarkan satu sama lain dan dengan demikian mencerminkan cinta kasih yang setia, permanen, eksklusif dan saling memberi diri seperti yang telah mereka ikrarkan satu dengan yang lainnya, dan dengan Tuhan.
Pemahaman ini dipertegas dengan tanggapan Yesus Sendiri atas pertanyaan kaum Farisi mengenai perceraian, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:4-6). Melalui Sakramen Perkawinan, Tuhan memberkati pasangan yang dipersatukan dalam ikatan kudus ini dan dengan murah hati melimpahkan rahmat atas mereka sehingga mereka dapat memikul tanggung jawab perkawinan bersama dan saling setia selamanya.
Di samping itu, cinta kasih suami isteri yang mempersatukan mereka sebagai “satu daging” memungkinkan mereka untuk ikut ambil bagian dalam karya kasih penciptaan Allah: seorang anak mungkin terlahir dari cinta kasih mereka. Lalu, lagi, Tuhan mencurahkan rahmat berlimpah ke atas mereka agar pasangan suami isteri ini dapat menunaikan tugas kewajiban sebagai ayah dan ibu. Sebab itu, sesuai rancangan Allah, cinta kasih secara seksual diperuntukkan hanya bagi mereka yang ada dalam ikatan perkawinan dengan senantiasa setia memelihara tujuan perkawinan, yaitu kesatuan penuh cinta dan pembiakan. Segala tindakan yang menyimpang dari rancangan ini pada hakekatnya jahat. Inilah ajaran tegas Kitab Suci dan ajaran konsisten Gereja kita.
Pelanggaran terhadap ikatan cinta kasih perkawinan, baik secara fisik maupun batin, baik dilakukan seorang diri maupun bersama yang lain, merupakan perzinahan. Patut diingat Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita, “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat 5:27-28). Tuhan kita mengangkat cinta kasih perkawinan yang setia, permanen, eksklusif dan saling memberi diri, ke tingkat kekudusan yang lebih tinggi.
Dengan dasar pemahaman di atas, sekarang marilah kita membahas masalah yang dipertanyakan: phone sex, oral sex dan masturbasi. Saya kurang mengerti apa sebenarnya “phone sex”, yang jelas ia merupakan bagian dari nafsu berahi. Nafsu berahi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai hasrat yang berkobar akan kenikmatan seksual. Kenikmatan semacam itu dianggap tak teratur apabila dicari demi kepentingan sendiri, terlepas dari hakekat tujuan perkawinan. Orang dapat menganggap “phone sex” sebagai suatu bentuk pornografi di mana aktivitas yang baik bagi perkawinan ditinggalkan dan dipergunakan untuk membangkitkan hasrat seksual pribadi. Dengan demikian, orang menarik dari dari dunia nyata dan tenggelam dalam dunia khayalan. Perilaku yang demikian dikejar demi kenikmatan diri sendiri yang egois. Pada dasarnya, “phone sex” atau segala bentuk pornografi lainnya mencemarkan kebajikan perkawinan dan dengan demikian mengakibatkan dosa berat.
Mempergunakan dan mencari kenikmatan dari alat-alat perangsang pornografi berhubungan dengan perilaku masturbasi, yaitu “rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja dengan tujuan membangkitkan kenikmatan seksual” (Katekismus Gereja Katolik, No 2352). Gereja secara konsisten mengajarkan bahwa masturbasi pada hakekatnya merupakan satu tindakan yang sangat bertentangan dengan ketertiban. Bahkan dalam Kitab Kejadian, kita dapat membaca kutukan atas perilaku masturbasi dalam kisah Onan yang “membiarkan maninya terbuang,” suatu tindakan yang membangkitkan murka Allah (Kej 38:8-10); dari kisah ini muncul istilah “onani”, yang sama artinya dengan masturbasi. (Istilah “onani” dikhususkan jika subyeknya adalah laki-laki). Masturbasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan seorang diri, yang timbul karena orang menenggelamkan diri ke dalam dunia fantasi, yang dilakukan demi kenikmatan sendiri yang egois. Masturbasi mencemarkan cinta kasih yang saling memberikan diri antara suami isteri.
Secara obyektif, masturbasi merupakan dosa berat. Namun demikian, Katekismus Gereja Katolik mengingatkan, “Supaya membentuk satu penilaian yang matang mengenai tanggung jawab moral dari mereka yang bersalah dalam hal ini, dan untuk menyusun bimbingan rohani supaya menanggapinya, orang harus memperhatikan ketidakmatangan afektif, kekuatan kebiasaan yang sudah mendarah daging, suasana takut dan faktor-faktor psikis atau kemasyarakatan yang lain, yang dapat mengurangkan kesalahan moral atau malahan menghilangkannya sama sekali” (No. 2352).
Yang terakhir, oral sex menyangkut ejakulasi seorang laki-laki ke dalam mulut seorang laki-laki lain atau seorang perempuan. Dikenal pula sodomi yang menyangkut ejakulasi seorang laki-laki ke dalam anus seorang laki-laki lain atau seorang perempuan. Suatu teks klasik kuno, Buku Pedoman Teologi Moral mencatat, “Sodomi adalah dosa yang berteriak ke surga menuntut balas dendam.” Di sini kita melihat dengan jelas pencemaran terhadap cinta kasih perkawinan, dan juga suatu tindakan yang pada hakekatnya jahat, yang mengakibatkan dosa berat.
Setiap tindakan di atas melanggar Perintah Keenam dari Sepuluh Perintah Allah, “Jangan berzinah.” Kita harus ingat bahwa setiap kita dipanggil untuk hidup murni. Seperti dijabarkan dalam Katekismus, “Kemurnian berarti integrasi seksualitas yang membahagiakan di dalam pribadi dan selanjutnya kesatuan batin manusia dalam keberadaannya secara jasmani dan rohani” (No 2337). Kemurnian memampukan kita untuk menghormati martabat seksualitas manusiawi kita dan menghormati kekudusan cinta kasih perkawinan. Kemurnian mendorong kita untuk memandang setiap orang sebagai suatu pribadi, bukan sebagai suatu tubuh belaka, dan menghormati hakekat martabat mereka. Dalam kemurnian, orang berjuang untuk menguasai perasaan dan hasrat, menghargai kesucian cinta kasih suami isteri, dan berani bertanggung jawab atas perbuatannya.
Tentu saja kita membutuhkan rahmat Tuhan dan bimbingan Roh Kudus agar dapat hidup murni, teristimewa dalam abad dengan segudang pencobaan besar ini.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Are Oral Sex and Phone Sex Wrong?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1997 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald
http://uploads.bizhat.com/signup.php?ref=attonk
http://klikrupiah.com/register.php?r=attonk
No comments:
Post a Comment