Seorang kerabat saya menderita kanker yang tak tersembuhkan. Kami sama sekali tak hendak menyakitinya, tetapi kami juga tak hendak memperpanjang penderitaannya yang sia-sia. Bagaimakah pedoman moral Gereja mengenai keadaan semacam ini?
~ seorang pembaca di Leesburg
~ seorang pembaca di Leesburg
Sejak pertengahan abad ke-20, Gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral Gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tahun 1980, Kongregasi untuk Ajaran Iman menerbitkan “Declaratio de Euthanasia” yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, teristimewa mengingat semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (No. 64) memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' …. Jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu.” Katekismus Gereja Katolik (No 2276-2279) juga memberikan ikhtisar penjelasan ajaran Gereja Katolik kita tentang hal ini.Mengenai masalah ini, prinsip-prinsip berikut mengikat secara moral: Pertama, Gereja Katolik berpegang teguh bahwa baik martabat setiap individu maupun anugerah hidup adalah kudus. Kita menghormati kekudusan kelangsungan hidup manusia sejak dari saat pembuahan hingga kematian yang wajar.
Kedua, setiap orang terikat untuk melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan dengan keterbukaan terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan hidup di surga. Sebab itu, pemeliharaan hidup bukan hanya sekedar masalah “jasmani” di mana kita banyak mencurahkan perhatian pada tubuh dan kehidupan jasmani, hingga kita kehilangan pandangan akan jiwa, kehidupan rohani individu dan tujuan kehidupan kekalnya. Karenanya, kita wajib menimbang apakah suatu perawatan hanya sekedar menjaga fungsi tubuh dan menunda kematian, ataukah suatu perawatan membantu individu dalam memperkuat hidup dan memulihkan kesehatan. Akan tiba waktunya di mana seseorang meninggalkan kehidupan di dunia ini dan kembali kepada Tuhan dalam suatu kehidupan yang baru.
Ketiga, dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan merupakan penolakan terhadap rencana Allah. Pula, melakukan percobaan atas kehidupan atau membunuh seorang yang tak bersalah merupakan suatu tindak kejahatan. Oleh karena alasan-alasan di atas, Konsili Vatikan II mengutuk, “apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia atau bunuh diri yang disengaja….” (Gaudium et Spes, No. 27).
Berdasarkan pemahaman seperti yang dijelaskan, kita percaya bahwa setiap orang wajib mempergunakan sarana-sarana perawatan kesehatan yang biasa. Di sini, orang akan berpikir mengenai nutrisi yang dibutuhkan - makanan dan minuman - dan perawatan kesehatan biasa. Biasa berarti menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya dan tidak terlalu membebani baik pasien maupun keluarga.
Seorang dapat, tetapi tidak wajib untuk, mempergunakan sarana-sarana luar biasa - sarana-sarana yang pada dasarnya tidak dianggap sebagai perawatan kesehatan biasa atau umum. Sarana-sarana luar biasa ini tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya dan dapat sangat membebani baik pasien maupun keluarga. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan apakah suatu perawatan merupakan suatu perawatan luar biasa adalah jenis penanganan, tindak kerumitannya atau resikonya, biayanya dan kemungkinan mempergunakannya, dan dengan membandingkan unsur-unsur ini dengan hasil yang dapat diharapkan, seraya memperhatikan keadaan orang yang sakit dan kekuatan jasmani dan kejiwaannya. Akan tetapi, tentu saja, di dunia kita sekarang ini, semakin dan semakin sulit saja untuk secara tepat mendefinisikan apa yang diklasifikasikan sebagai perawatan kesehatan luar biasa. Sebagai misal, menerima jantung buatan jelas sifatnya eksperimen dan akan diklasifikasikan sebagai luar biasa; sementara penggunaan respirator atau ventilator seringkali merupakan prosedur standard dalam membantu kesembuhan pasien.
Walau Gereja membuat pembedaan antara sarana-sarana biasa dan luar biasa, namun Gereja tidak akan menolerir tindakan eutanasia dalam bentuk apapun. Eutanasia, yang secara harafiah diterjemahkan sebagai kematian yang baik atau kematian tanpa penderitaan, adalah “tindakan atau pantang tindakan yang menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan demikian menghentikan setiap rasa sakit” (Declaratio de Euthanasia). Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri hidup dengan sengaja melalui suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau dengan suatu pantang, seperti membiarkan kelaparan atau kehausan (= dehidrasi). Perlu dicatat bahwa eutanasia biasa dikenal sebagai “membunuh karena kasihan”; istilah ini paling tepat sebab tindakan yang dilakukan bertujuan untuk membunuh dengan sengaja, tak peduli betapa baik tujuannya, misalnya, untuk mengakhiri penderitaan. Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: “Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung” (Evangelium Vitae, No. 66). Sebab itu, Bapa Suci memaklumkan, “Memperhatikan distingsi-distingsi itu, selaras dengan Magisterium para Pendahulu kami, dan dalam persekutuan dengan para Uskup Gereja Katolik, kami mengukuhkan bahwa eutanasia itu pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65).
Walau demikian, eutanasia harus dibedakan dari menghentikan sarana-sarana perawatan kesehatan luar biasa atau perawatan kesehatan agresif lainnya. Pasien - atau wali dalam kasus pasien tak sadarkan diri - berhak menolak secara tulus atau mengakhiri prosedur-prosedur luar biasa tersebut, yang tak lagi menjawab situasi nyata pasien, yang tidak menawarkan manfaat yang proporsional, yang tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya, yang mendatangkan beban teramat berat bagi pasien maupun keluarga, atau sekedar karena “kegagahan”. Keputusan yang demikian adalah yang paling tepat apabila kematian jelas di ambang pintu serta tak terhindarkan. Di sini, orang dapat menolak bentuk-bentuk perawatan yang hanya sekedar memperpanjang hidup dengan disertai resiko dan beban berat. Dalam kasus-kasus demikian, orang dapat menyerahkan diri ke dalam tangan kasih Tuhan dan bersiap diri meninggalkan dunia ini, sembari mempertahankan sarana-sarana perawatan kesehatan biasa.
Sebagai contoh, beberapa tahun lalu, seorang imam yang adalah sahabat yang saya kasihi, didiagnosa menderita kanker pankreas dan diberitahu bahwa penyakit itu akan mendatangkan kematian baginya. Daripada menjalani chemotherapy atau radiasi yang menyakitkan, yang hanya dapat memberinya harapan hidup enam bulan lebih lama, imam mengikuti program perawatan yang menyediakan nutrisi yang dibutuhkan, penanganan penyakit, dan perawatan kesehatan yang bagus. Ia mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Tuhan yang telah ia layani sebagai imam selama 45 tahun. Tentu saja, ia dapat menjalani chemotherapy atau radiasi; tetapi alternatif-alternatif ini adalah perawatan kesehatan luar biasa, sebab tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya. Tindakannya secara moral sesuai dengan ajaran Katolik.
Seorang teman yang lain menghadapi ajal karena prostrate yang telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Terakhir kali saya menjenguknya di rumah sakit, ia telah dalam keadaan koma; ia makan lewat slang makanan dan bernapas lewat respirator. Ia mengalami gagal ginjal pula. Para dokter menyampaikan kepada keluarga bahwa tak ada lagi yang dapat mereka lakukan dan bahwa situasinya tak dapat berubah. Hingga tahap itu, teknologi medis tak dapat memberikan pengharapan kesembuhan atau manfaat, melainkan hanya sekedar menunda proses kematian. Keluarga memutuskan untuk menghentikan respirator, yang sekarang telah menjadi sarana luar biasa, dan beberapa menit kemudian teman saya pun pergi menjumpai Tuhan-nya. Tindakan ini secara moral dibenarkan dan dibedakan dari tindakan mengakhiri hidup secara sengaja.
Patut diperhatikan bahwa dalam dua kasus di atas, jika seseorang memutuskan untuk memberikan injeksi mati kepada pasien, atau tidak memberikan perawatan kesehatan yang biasa, seperti makanan dan minuman, maka hal itu akan merupakan suatu tindakan pembunuhan yang disengaja.
Memang, tak seorang pun suka menderita dan tak seorang pun suka melihat orang yang dikasihinya menderita. Namun demikian, kita wajib ingat bahwa masing-masing kita dibaptis dalam sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Kita semua ikut ambil bagian dalam salib Kristus, dan bahwa terkadang hal itu dapat amat menyakitkan. Akan tetapi, penderitaan ini, teristimewa penderitaan di saat-saat akhir hidup seseorang, haruslah dipandang sebagai keikutsertaan dalam penderitaan Kristus. Dengan mempersatukan penderitaan kita dengan penderitaan Kristus, kita menyilih luka-luka yang diakibatkan dosa-dosa kita dan membantu menyilih dosa-dosa orang lain juga, sama seperti yang dilakukan sebagian dari para martir awali yang mempersembahkan penderitaan mereka demi orang-orang berdosa. Terkadang, penderitaan yang demikian pada akhirnya dapat menyembuhkan luka-luka yang telah memisahkan keluarga-keluarga. Haruslah kita mengarahkan pandangan pada Kristus agar Ia membantu kita dalam penderitaan dan membimbing kita dari kehidupan ini kepada DiriNya.
Tak satu pun dari kasus-kasus yang demikian itu mudah. Dengan segala teknologi medis dan sistem penunjang hidup, keluarga semakin sulit menentukan keputusan dalam keadaan demikian. Walau begitu, ada suatu perbedaan besar antara membunuh orang secara sengaja, dan membiarkan orang meninggal dengan tenang penuh martabat, sementara meneruskan sarana-sarana perawatan kesehatan yang biasa. Dengan banyak doa, keluarga, dengan bimbingan nasehat imam dan dokter, perlu menerapkan prinsip-prinsip moral bagi setiap keadaan individu. Terlebih lagi, kita wajib ingat bahwa “Selain upaya-upaya dokter, orang sakit memerlukan kasih, perhatian, kehangatan, pendekatan manusiawi dan adikodrati, yang dapat dan harus diberikan semua orang dekat, orangtua dan anak-anak, dokter dan perawat” (Declaratio de Euthanasia).
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish, Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: The Church's Teaching on Euthanasia” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
Kedua, setiap orang terikat untuk melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan dengan keterbukaan terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan hidup di surga. Sebab itu, pemeliharaan hidup bukan hanya sekedar masalah “jasmani” di mana kita banyak mencurahkan perhatian pada tubuh dan kehidupan jasmani, hingga kita kehilangan pandangan akan jiwa, kehidupan rohani individu dan tujuan kehidupan kekalnya. Karenanya, kita wajib menimbang apakah suatu perawatan hanya sekedar menjaga fungsi tubuh dan menunda kematian, ataukah suatu perawatan membantu individu dalam memperkuat hidup dan memulihkan kesehatan. Akan tiba waktunya di mana seseorang meninggalkan kehidupan di dunia ini dan kembali kepada Tuhan dalam suatu kehidupan yang baru.
Ketiga, dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan merupakan penolakan terhadap rencana Allah. Pula, melakukan percobaan atas kehidupan atau membunuh seorang yang tak bersalah merupakan suatu tindak kejahatan. Oleh karena alasan-alasan di atas, Konsili Vatikan II mengutuk, “apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia atau bunuh diri yang disengaja….” (Gaudium et Spes, No. 27).
Berdasarkan pemahaman seperti yang dijelaskan, kita percaya bahwa setiap orang wajib mempergunakan sarana-sarana perawatan kesehatan yang biasa. Di sini, orang akan berpikir mengenai nutrisi yang dibutuhkan - makanan dan minuman - dan perawatan kesehatan biasa. Biasa berarti menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya dan tidak terlalu membebani baik pasien maupun keluarga.
Seorang dapat, tetapi tidak wajib untuk, mempergunakan sarana-sarana luar biasa - sarana-sarana yang pada dasarnya tidak dianggap sebagai perawatan kesehatan biasa atau umum. Sarana-sarana luar biasa ini tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya dan dapat sangat membebani baik pasien maupun keluarga. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan apakah suatu perawatan merupakan suatu perawatan luar biasa adalah jenis penanganan, tindak kerumitannya atau resikonya, biayanya dan kemungkinan mempergunakannya, dan dengan membandingkan unsur-unsur ini dengan hasil yang dapat diharapkan, seraya memperhatikan keadaan orang yang sakit dan kekuatan jasmani dan kejiwaannya. Akan tetapi, tentu saja, di dunia kita sekarang ini, semakin dan semakin sulit saja untuk secara tepat mendefinisikan apa yang diklasifikasikan sebagai perawatan kesehatan luar biasa. Sebagai misal, menerima jantung buatan jelas sifatnya eksperimen dan akan diklasifikasikan sebagai luar biasa; sementara penggunaan respirator atau ventilator seringkali merupakan prosedur standard dalam membantu kesembuhan pasien.
Walau Gereja membuat pembedaan antara sarana-sarana biasa dan luar biasa, namun Gereja tidak akan menolerir tindakan eutanasia dalam bentuk apapun. Eutanasia, yang secara harafiah diterjemahkan sebagai kematian yang baik atau kematian tanpa penderitaan, adalah “tindakan atau pantang tindakan yang menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan demikian menghentikan setiap rasa sakit” (Declaratio de Euthanasia). Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri hidup dengan sengaja melalui suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau dengan suatu pantang, seperti membiarkan kelaparan atau kehausan (= dehidrasi). Perlu dicatat bahwa eutanasia biasa dikenal sebagai “membunuh karena kasihan”; istilah ini paling tepat sebab tindakan yang dilakukan bertujuan untuk membunuh dengan sengaja, tak peduli betapa baik tujuannya, misalnya, untuk mengakhiri penderitaan. Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: “Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung” (Evangelium Vitae, No. 66). Sebab itu, Bapa Suci memaklumkan, “Memperhatikan distingsi-distingsi itu, selaras dengan Magisterium para Pendahulu kami, dan dalam persekutuan dengan para Uskup Gereja Katolik, kami mengukuhkan bahwa eutanasia itu pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65).
Walau demikian, eutanasia harus dibedakan dari menghentikan sarana-sarana perawatan kesehatan luar biasa atau perawatan kesehatan agresif lainnya. Pasien - atau wali dalam kasus pasien tak sadarkan diri - berhak menolak secara tulus atau mengakhiri prosedur-prosedur luar biasa tersebut, yang tak lagi menjawab situasi nyata pasien, yang tidak menawarkan manfaat yang proporsional, yang tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya, yang mendatangkan beban teramat berat bagi pasien maupun keluarga, atau sekedar karena “kegagahan”. Keputusan yang demikian adalah yang paling tepat apabila kematian jelas di ambang pintu serta tak terhindarkan. Di sini, orang dapat menolak bentuk-bentuk perawatan yang hanya sekedar memperpanjang hidup dengan disertai resiko dan beban berat. Dalam kasus-kasus demikian, orang dapat menyerahkan diri ke dalam tangan kasih Tuhan dan bersiap diri meninggalkan dunia ini, sembari mempertahankan sarana-sarana perawatan kesehatan biasa.
Sebagai contoh, beberapa tahun lalu, seorang imam yang adalah sahabat yang saya kasihi, didiagnosa menderita kanker pankreas dan diberitahu bahwa penyakit itu akan mendatangkan kematian baginya. Daripada menjalani chemotherapy atau radiasi yang menyakitkan, yang hanya dapat memberinya harapan hidup enam bulan lebih lama, imam mengikuti program perawatan yang menyediakan nutrisi yang dibutuhkan, penanganan penyakit, dan perawatan kesehatan yang bagus. Ia mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Tuhan yang telah ia layani sebagai imam selama 45 tahun. Tentu saja, ia dapat menjalani chemotherapy atau radiasi; tetapi alternatif-alternatif ini adalah perawatan kesehatan luar biasa, sebab tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya. Tindakannya secara moral sesuai dengan ajaran Katolik.
Seorang teman yang lain menghadapi ajal karena prostrate yang telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Terakhir kali saya menjenguknya di rumah sakit, ia telah dalam keadaan koma; ia makan lewat slang makanan dan bernapas lewat respirator. Ia mengalami gagal ginjal pula. Para dokter menyampaikan kepada keluarga bahwa tak ada lagi yang dapat mereka lakukan dan bahwa situasinya tak dapat berubah. Hingga tahap itu, teknologi medis tak dapat memberikan pengharapan kesembuhan atau manfaat, melainkan hanya sekedar menunda proses kematian. Keluarga memutuskan untuk menghentikan respirator, yang sekarang telah menjadi sarana luar biasa, dan beberapa menit kemudian teman saya pun pergi menjumpai Tuhan-nya. Tindakan ini secara moral dibenarkan dan dibedakan dari tindakan mengakhiri hidup secara sengaja.
Patut diperhatikan bahwa dalam dua kasus di atas, jika seseorang memutuskan untuk memberikan injeksi mati kepada pasien, atau tidak memberikan perawatan kesehatan yang biasa, seperti makanan dan minuman, maka hal itu akan merupakan suatu tindakan pembunuhan yang disengaja.
Memang, tak seorang pun suka menderita dan tak seorang pun suka melihat orang yang dikasihinya menderita. Namun demikian, kita wajib ingat bahwa masing-masing kita dibaptis dalam sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Kita semua ikut ambil bagian dalam salib Kristus, dan bahwa terkadang hal itu dapat amat menyakitkan. Akan tetapi, penderitaan ini, teristimewa penderitaan di saat-saat akhir hidup seseorang, haruslah dipandang sebagai keikutsertaan dalam penderitaan Kristus. Dengan mempersatukan penderitaan kita dengan penderitaan Kristus, kita menyilih luka-luka yang diakibatkan dosa-dosa kita dan membantu menyilih dosa-dosa orang lain juga, sama seperti yang dilakukan sebagian dari para martir awali yang mempersembahkan penderitaan mereka demi orang-orang berdosa. Terkadang, penderitaan yang demikian pada akhirnya dapat menyembuhkan luka-luka yang telah memisahkan keluarga-keluarga. Haruslah kita mengarahkan pandangan pada Kristus agar Ia membantu kita dalam penderitaan dan membimbing kita dari kehidupan ini kepada DiriNya.
Tak satu pun dari kasus-kasus yang demikian itu mudah. Dengan segala teknologi medis dan sistem penunjang hidup, keluarga semakin sulit menentukan keputusan dalam keadaan demikian. Walau begitu, ada suatu perbedaan besar antara membunuh orang secara sengaja, dan membiarkan orang meninggal dengan tenang penuh martabat, sementara meneruskan sarana-sarana perawatan kesehatan yang biasa. Dengan banyak doa, keluarga, dengan bimbingan nasehat imam dan dokter, perlu menerapkan prinsip-prinsip moral bagi setiap keadaan individu. Terlebih lagi, kita wajib ingat bahwa “Selain upaya-upaya dokter, orang sakit memerlukan kasih, perhatian, kehangatan, pendekatan manusiawi dan adikodrati, yang dapat dan harus diberikan semua orang dekat, orangtua dan anak-anak, dokter dan perawat” (Declaratio de Euthanasia).
* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish, Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: The Church's Teaching on Euthanasia” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
No comments:
Post a Comment