Saturday, May 15, 2010

Saat calon dokter harus turun ke jalan

Siang terik tak menghalangi rombongan itu untuk turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka. Memang pemandangan yang langkah, mereka yang sering terlihat di rumah sakit , menerima dan mendengarkan keluhan pasien malah membawa-bawa abbocath dan spoit di jalan meminta untuk didengarkan keluhannya. Semua itu tak lepas dari peraturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi Sulawesi Selatan. Peraturan Gubernur Sulsel nomor 28 tahun 2010 tentang Tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan Pemprov Sulawesi Selatan yang ditandatangani tanggal 14 April yang lalu.
Salah satu aturan yang termuat adalah (dikutip dari salah satu surat kabar local) calon dokter yang menjalani pendidikan untuk dokter umum (coas) harus membayar Rp. 60 ribu perminggu, dokter spesialis (residen) harus membayar Rp. 75 ribu dan perawat Rp. 50ribu perminggu di semua rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah provinsi.
Dalam surat kabar yang sama, disebutkan sekretaris Pemprov mengatakan bahwa retribusi pelayanan kesehatan tidak dibebankan kepada mahasiswa yang melakukan pendidikan praktik di rumah sakit Pemprov Sulsel. Retribusi itu dibebankan kepada institusi pendidikan yang menempatkan coas, perawat dan residen di rumah sakit milik Pemprov Sulsel.

Dilihat dari perspektif seorang dokter muda maka, angka-angka di atas sangatlah memberatkan. Bahkan terkesan seperti sebuah pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Bayangkan saja, biaya-biaya yang selama ini sudah ada seperti biaya pendidikan yang semakin meningkat, biaya harian dan biaya-biaya lain.

Kalau harus curhat, maka beban seorang koas yang bertugas di rumah sakit cukup berat (tergantung pada bagian dan tanggung jawab yang diberikan). Sebagai contoh, di salah satu rumah sakit milik pemprov , yang lagi-lagi dalam surat kabar yang sama dimuat sebagai rumah istana para kucing dalam dua bagian), bagian interna, tugas seorang koas adalah menerima pasien baru yang dikonsul ke bagian melakukan pemeriksaan , kemudian melaporkannya ke dokter yang jaga, bila dokter jaga sudah memeriksa dan menuliskan resep di lembar merah maka koas kemudian menuliskannya dalam lembar resep, melakukan follow up bila dibutuhkan seperti pada pasien-pasien dengan keadaan umum buruk, tanpa memandang jam berapa pasien datang. Pagi-pagi koas harus melakukan setidaknya pemeriksaan tanda vital sebelum dokter melakukan visite. Belum lagi tugas-tugas lain yang diberikan ke residen, dan yang paling utama adalah beban mental menghadapi beragam sifat pasien dan dokter.
Harus digaris bawahi bahwa perawat, dan dokter muda yang praktik di rumah sakit TIDAK DIGAJI. Sebagian kalangan bahkan teman-teman saya yang belum memahami seperti apa dan dimana posisi seorang dokter muda sering menanyakan atau setidaknya meminta traktiran karena menyangka seorang dokter muda sudah memperoleh upah atas tugas yang dilakukannya. Tentu saja, hal ini boleh dikata tidak mungkin. Sebuah unek-unek dari teman berkata bahwa koas adalah sarjana yang kerja tanpa digaji. Lagi-lagi, unek-unek yang sangat tajam, namun harus dipahami pula bahwa dokter muda sedang dalam proses pendidikan klinik. Semua biaya yang dikeluarkan selama pendidikan itu masih bersumber dari orangtua.
Sanggahan dari sekretaris pemprov yang mengatakan bahwa beban biayanya akan ditanggung oleh badan pendidikan yang menempatkan mahasiswanya di rumah sakit pemprov. Tapi , mungkin melupakan sesuatu bahwa pada ujungnya, akan ada biaya lain lagi yang akan dibayar oleh dokter muda, perawat dan residen entah dengan label apa untuk menutupi biaya retribusi itu nantinya.
Dan untuk saat ini perjuangan itu bertahan pada penangguhan pasal yang menjadi pokok masalah dalam peraturan tersebut. Tentu saja, yang menjadi poin adalah penghapusan pasal yang menyangkut retribusi terhadap perawat , koas, dan residen.
Pada dasarnya, tulisan ini hanya sekedar curahan hati seorang koas yang akan merasakan dampak retribusi ini nantinya. Maaf bila terlalu kasar, karena tidak menemukan kata-kata yang lebih tepat untuk mengartikan dengan maksud yang sama.

No comments: