Beliau bernama Helena Tandiombo. Itu yang kutahu. Tapi kami lebih sering memanggilnya ibu Helena. Aku lupa kapan pertama kalinya kami bertemu tapi aku yakin aku telah melihatnya saat pertama masuk di SD Katolik Renya Rosari. Bahkan mungkin tanpa sengaja aku bertemu dengan beliau saat masih di TK yang berdampingan dengan SD tempat beliau mengajar.
Beliau akhirnya menjadi wali kelasku di tahun terakhir sekolah dasar. Aku ingat suatu momen , saat itu setelah beliau menjadi wali kelas kami, kelas VI B. Kelas kami berada di pojok atas, berdampingan dengan ruangan biara susteran . Beberapa teman yang kuingat di antaranya Edi, Ima, Alki, Febi, Omi, Yance,, dll.
Waktu itu diadakan pemilihan ketua kelas. Calonnya ada dua, Asima dan Irwan (alm). Pemilihan itu dimenangkan oleh Asima dengan perbedaan dua poin. Rahasianya, karena angka satu (yang ditulis bila memilih Irwan) terlihat seperti angka dua untuk memilih Asima. Seandainya , waktu itu ibu Helena tidak salah menyebut maka skornya sama. Tapi, sepertinya itu bukan keputusan yang salah. Asima bisa menjadi ketua kelas yang baik dengan Irwan sebagai wakilnya.
Salah satu pengalaman yang berkesan adalah saat kami sekelas (hampir semuanya sebenarnya) berkunjung ke rumah ibu Helena, meskipun sebenarnya hari itu bukan hari libur bahkan besoknya kami harus ke sekolah. Aku lupa alasan kami ke rumahnya waktu itu. Yang pasti meski ibu tidak tahu kalau kami bakal datang, beliau dengan senang menyediakan makanan untuk kami. Aku ingat malamnya, kami menonton aksi Jet Li yang melawan orang-orang yang membentuk formasi kaki seribu. Jet Li akhirnya menang setelah memperhatikan bagaimana seekor ayam mematuk lipan. Sampai saat ini aku tidak tahu judul film itu. Pagi harinya, kami bersama-sama berangkat ke sekolah dengan menempuh perjalanan jauh dari daerah Tampo Makale ke sekolah. Kami harus menenteng sepatu karena jalan yang kami lewati adalah pematang sawah dan jalan-jalan becek.
Suatu waktu kami sedang belajar matematika, aku lumayan bisa, saat itu teman sebangkuku meminta bantuanku bagaimana menyelesaikan tugas soal yang diberikan oleh Ibu Helena, aku menjawab buat aja dulu, ntar kalau masih gak bisa aku bantu. Ibu Helena ternyata berada di belakangku dan mendengar setiap kata-kata yang aku ucapkan. Ia tersenyum dan seingatku ia memujiku di depan kelas.
Satu lagi mata pelajaran yang beliau ajarkan, latihan menulis indah. Menulis bersambung. Aku selalu berusaha sebaiknya tapi tetap saja tulisanku tidak indah-indah. Tidak sebagus tulisan Omi atau Ima, atau teman sekelasku yang lain. Tulisanku saat itu tentu saja dibandingkan dengan sekarang masih lebih bagus, tapi beliau adalah satu dari dua orang guru yang mengatakan tulisanku bagus. Mungkin kacamata ibu sudah harus diganti. He he he
DI akhir tahun, saat pengumuman kelulusan, ada satu moment yang tidak pertama aku lupa. Untuk pertama dan terakhir kalinya aku dinyatakan tidak lulus. Hal itu karena aku tidak memasukkan prakarya kesenian sebagai prasyarat kelulusan. Aku masuk ke kelasku yang kosong dan tanpa malu aku menangis. Tentu saja waktu itu aku masih terlalu kecil dalam batasan tertentu untuk menangis di tempat seperti kelas yang setiap orang bisa saja masuk. Ibu Helena datang dan menghiburku. Ia memeluk menenangkanku dan memberikan nasehat serta saran yang terbaik. Dan keesokan harinya, aku memasukkan sebuah pahatan yang aku beli di pasar Makale. Aku pun dinyatakan lulus.
Aku lupa kapan terakhir kali bertemu ibu Helena. Yang pasti sudah sangat lama sekali. Tapi dalam lingkup tertentu beliau adalah salah satu guru yang sangat berkesan bagiku. Dalam arti tertentu beliau meletakkan dasar-dasar hidupku.
Dalam hari-hari pertama di awal tahun 2010, untuk pertama kalinya aku mendapat pemberitahuan dari forum SD Katolik Renya Rosari, yang menyebutkan bahwa beliau telah meninggal karena penyakit. Bagiku beliau tetap hidup dan menjadi bagian dari hidup. Ada bagian-bagian dalam kisah hidupku yang diperankannya yang tidak tergantikan tidak hanya sebagai guruku ,wali kelasku di tahun terakhir SD, ia berperan pula sebagai ibu.
Beliau akhirnya menjadi wali kelasku di tahun terakhir sekolah dasar. Aku ingat suatu momen , saat itu setelah beliau menjadi wali kelas kami, kelas VI B. Kelas kami berada di pojok atas, berdampingan dengan ruangan biara susteran . Beberapa teman yang kuingat di antaranya Edi, Ima, Alki, Febi, Omi, Yance,, dll.
Waktu itu diadakan pemilihan ketua kelas. Calonnya ada dua, Asima dan Irwan (alm). Pemilihan itu dimenangkan oleh Asima dengan perbedaan dua poin. Rahasianya, karena angka satu (yang ditulis bila memilih Irwan) terlihat seperti angka dua untuk memilih Asima. Seandainya , waktu itu ibu Helena tidak salah menyebut maka skornya sama. Tapi, sepertinya itu bukan keputusan yang salah. Asima bisa menjadi ketua kelas yang baik dengan Irwan sebagai wakilnya.
Salah satu pengalaman yang berkesan adalah saat kami sekelas (hampir semuanya sebenarnya) berkunjung ke rumah ibu Helena, meskipun sebenarnya hari itu bukan hari libur bahkan besoknya kami harus ke sekolah. Aku lupa alasan kami ke rumahnya waktu itu. Yang pasti meski ibu tidak tahu kalau kami bakal datang, beliau dengan senang menyediakan makanan untuk kami. Aku ingat malamnya, kami menonton aksi Jet Li yang melawan orang-orang yang membentuk formasi kaki seribu. Jet Li akhirnya menang setelah memperhatikan bagaimana seekor ayam mematuk lipan. Sampai saat ini aku tidak tahu judul film itu. Pagi harinya, kami bersama-sama berangkat ke sekolah dengan menempuh perjalanan jauh dari daerah Tampo Makale ke sekolah. Kami harus menenteng sepatu karena jalan yang kami lewati adalah pematang sawah dan jalan-jalan becek.
Suatu waktu kami sedang belajar matematika, aku lumayan bisa, saat itu teman sebangkuku meminta bantuanku bagaimana menyelesaikan tugas soal yang diberikan oleh Ibu Helena, aku menjawab buat aja dulu, ntar kalau masih gak bisa aku bantu. Ibu Helena ternyata berada di belakangku dan mendengar setiap kata-kata yang aku ucapkan. Ia tersenyum dan seingatku ia memujiku di depan kelas.
Satu lagi mata pelajaran yang beliau ajarkan, latihan menulis indah. Menulis bersambung. Aku selalu berusaha sebaiknya tapi tetap saja tulisanku tidak indah-indah. Tidak sebagus tulisan Omi atau Ima, atau teman sekelasku yang lain. Tulisanku saat itu tentu saja dibandingkan dengan sekarang masih lebih bagus, tapi beliau adalah satu dari dua orang guru yang mengatakan tulisanku bagus. Mungkin kacamata ibu sudah harus diganti. He he he
DI akhir tahun, saat pengumuman kelulusan, ada satu moment yang tidak pertama aku lupa. Untuk pertama dan terakhir kalinya aku dinyatakan tidak lulus. Hal itu karena aku tidak memasukkan prakarya kesenian sebagai prasyarat kelulusan. Aku masuk ke kelasku yang kosong dan tanpa malu aku menangis. Tentu saja waktu itu aku masih terlalu kecil dalam batasan tertentu untuk menangis di tempat seperti kelas yang setiap orang bisa saja masuk. Ibu Helena datang dan menghiburku. Ia memeluk menenangkanku dan memberikan nasehat serta saran yang terbaik. Dan keesokan harinya, aku memasukkan sebuah pahatan yang aku beli di pasar Makale. Aku pun dinyatakan lulus.
Aku lupa kapan terakhir kali bertemu ibu Helena. Yang pasti sudah sangat lama sekali. Tapi dalam lingkup tertentu beliau adalah salah satu guru yang sangat berkesan bagiku. Dalam arti tertentu beliau meletakkan dasar-dasar hidupku.
Dalam hari-hari pertama di awal tahun 2010, untuk pertama kalinya aku mendapat pemberitahuan dari forum SD Katolik Renya Rosari, yang menyebutkan bahwa beliau telah meninggal karena penyakit. Bagiku beliau tetap hidup dan menjadi bagian dari hidup. Ada bagian-bagian dalam kisah hidupku yang diperankannya yang tidak tergantikan tidak hanya sebagai guruku ,wali kelasku di tahun terakhir SD, ia berperan pula sebagai ibu.
Selamat jalan ibu. Engkaulah yang sesungguhnya pahlawan tanpa tanda jasa. Terima kasih untuk pengabdianmu kepada kami. Semoga Tuhan menempatkanmu dalam surgaNya yang damai.
No comments:
Post a Comment