Kemarin sore(12.10.10) dalam ibadah Rosario harian di sekret KMK UNHAS , saya tiba-tiba diminta menjadi pemimpin doa. Semuanya terkesan normal dan khidmat apalagi semua yang ikut bersuara emas. Hingga saat penutup setelah menyelesaikan rangkaian manic-manik Rosario, saya membuka salah satu halaman puji syukur dan mendoakan doa penyerahan kepada Santa Perawan Maria.
Dalam bait-bait doa itu , doa untuk negara juga dipanjatkan selain ujud-ujud doa yang lain. Dan entah mengapa saat saya mengucapkan kata negara mulut saya keseleo hingga menyebut kata neraka. Agak-agak mirip memang pelafalannya.
Setelah ibadah itu, saya merenung-renung apa mungkin negara kita sebenarnya sudah menjadi “neraka” ?
Pulang dari ibadah tersebut, kami menyantap makan malam di sebuah rumah makan terkenal di kota ini, tentu saja ada yang bayarkan. He he he. Di beberapa titik jalan , beberapa kumpulan massa mahasiswa berdiri di tengah jalan dengan boks-boks di tangan untuk meminta sumbangan bagi korban banjir di Wasior ,Papua. Mobil dan motor lewat begitu saja, ada yang menyempatkan diri untuk singgah namun lebih banyak yang berlalu begitu saja.
Sampai di rumah makan, beberapa anak kecil menghampiri kami. Mereka adalah beberapa payabo yang mangkal di sekitar rumah makan tersebut. Setiap kali bertemu dengan kelompok mereka, saya menjadi dilemma, apakah akan mengikhlaskan selembar ribuan untuk mereka atau tidak ? Bukankah dalam undang-undang ada pasal yang mengatur tentang mereka (UUD 45 pasal 34) ? Bahwa mereka yang terlantar itu akan dipelihara oleh negara ?
Di TV saya menyaksikan bahwa alasan presiden tidak ke lokasi bencana adalah karena bencana yang terjadi di sana tidak sehebat tsunami yang terjadi di Aceh. Apakah pemerintah harus menunggu bencana yang dahsyat , baru mereka mengunjungi korban bencana ? Padahal dengan kehadiran mereka akan sedikit mengobati luka psikis yang mereka derita.
Apakah kita masih peduli dengan orang-orang di sekitar kita ? Saat kita tidak peduli lagi, bukankah itu sama saja dengan neraka ? Tempat di mana setiap orang tidak peduli lagi dengan sekelilingnya, sikap individualistic berkembang menjadi raja. Dan tanpa sengaja kita telah mengambil bagian di dalamnya.
Dalam bait-bait doa itu , doa untuk negara juga dipanjatkan selain ujud-ujud doa yang lain. Dan entah mengapa saat saya mengucapkan kata negara mulut saya keseleo hingga menyebut kata neraka. Agak-agak mirip memang pelafalannya.
Setelah ibadah itu, saya merenung-renung apa mungkin negara kita sebenarnya sudah menjadi “neraka” ?
Pulang dari ibadah tersebut, kami menyantap makan malam di sebuah rumah makan terkenal di kota ini, tentu saja ada yang bayarkan. He he he. Di beberapa titik jalan , beberapa kumpulan massa mahasiswa berdiri di tengah jalan dengan boks-boks di tangan untuk meminta sumbangan bagi korban banjir di Wasior ,Papua. Mobil dan motor lewat begitu saja, ada yang menyempatkan diri untuk singgah namun lebih banyak yang berlalu begitu saja.
Sampai di rumah makan, beberapa anak kecil menghampiri kami. Mereka adalah beberapa payabo yang mangkal di sekitar rumah makan tersebut. Setiap kali bertemu dengan kelompok mereka, saya menjadi dilemma, apakah akan mengikhlaskan selembar ribuan untuk mereka atau tidak ? Bukankah dalam undang-undang ada pasal yang mengatur tentang mereka (UUD 45 pasal 34) ? Bahwa mereka yang terlantar itu akan dipelihara oleh negara ?
Di TV saya menyaksikan bahwa alasan presiden tidak ke lokasi bencana adalah karena bencana yang terjadi di sana tidak sehebat tsunami yang terjadi di Aceh. Apakah pemerintah harus menunggu bencana yang dahsyat , baru mereka mengunjungi korban bencana ? Padahal dengan kehadiran mereka akan sedikit mengobati luka psikis yang mereka derita.
Apakah kita masih peduli dengan orang-orang di sekitar kita ? Saat kita tidak peduli lagi, bukankah itu sama saja dengan neraka ? Tempat di mana setiap orang tidak peduli lagi dengan sekelilingnya, sikap individualistic berkembang menjadi raja. Dan tanpa sengaja kita telah mengambil bagian di dalamnya.
No comments:
Post a Comment