Kamis, 24 Februari 2011
di Aula Mapolda Jateng, Semarang
oleh: Mgr. Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang
1. Pluralisme Indonesia Sebuah Kenyataan
Kenyataan Indonesia adalah plural, majemuk dalam budaya, agama, dan status sosial ekonomi. Setiap orang Indonesia berada dalam pluralitas tersebut. Karena itu, dialog merupakan cara dewasa menjadi Indonesia. Dengan demikian dialog bukan sekedar suatu pilihan, melainkan keniscayaan untuk membangun Indonesia. Dalam dialog sejati toleransi saja tidak cukup.
Lebih dari toleransi perlu diupayakan mengembangkan sikap saling mengasihi dan saling menghormati (mutual love and mutual respect).antar warga Indonesia yang beragam budaya, beraneka agama, dan berbagai status sosial ekonomi. Program inkulturasi budaya, kerukunan hidup beragama, dan pemberdayaan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir merupakan perwujudan dialog sebagai cara cerdas menjadi Indonesia.
Kenyataan pluralitas Indonesia inilah yang dirumuskan oleh pujangga kita Mpu Tantular dengan “Bhinneka Tunggal Ika”.
2. Banyak Anggota Satu Tubuh
Tubuh kita satu, tetapi banyak anggota. Kalau seluruh tubuh adalah kepala, di manakah tangan? Kalau seluruh tubuh adalah tangan, di manakah kaki? Masing-masing anggota tubuh berbeda tempat dan fungsinya, tetapi semuanya terhubungkan satu sama lain, terjalin secara terpadu, berada bersama membangun satu tubuh. Kalau satu anggota tubuh terluka sakit, seluruh tubuh merasa sakit. Kalau satu anggota tubuh nyaman, seluruh tubuh merasa nyaman pula. Dalam komunikasi perbedaan merupakan potensi untuk menciptakan sinergi
3. Belajar Arif dari Jari Jemari
Melalui narasi turun menurun yang dituturkan oleh sesepuh kepada generasi muda kita belajar menghargai perbedaan. Jari jemari kita ini berbeda-beda, letaknya, ukurannya, fungsinya, dan pendapatnya.
Saya masih ingat semasa kanak-kanak nenek saya menuturkan percakapan yang terjadi antar jari jemari. Konon, karena merasa diri dikalahkan terus-menerus jari Telunjuk punya gagasan untuk melenyapkan jari Temunggul, katanya kepada Kelingking, "Enthik-enthik, si Temunggul patenana!" "Si Temunggul dosane apa," tanya Kelingking. "Dosane ngungkul-ungkuli," jawab Telunjuk. Mendengar percakapan itu, jari Manis nimbrung, "Aja, Dhi! Aja, Dji! Sedulur tuwa ala-ala malati!" Meneguhkan pendapat arif dari jari Manis itu, Ibu Jari membenarkan, "Bener, bener, tahi laler enak seger!" "Cekikiiiik, cegiiiiir!" serentak Jari Jemari tangan bereaksi mengakhiri percakapan mereka.
Dari percakapan jari jemari tangan kita kita belajar arif melestarikan kehidupan, "Jangan membunuh!". Lalu kalau terjadi kerusuhan dan pembunuhan siapa yang paling bertanggungjawab?
4. Kapan Matahari Terbit?
Senin, 7 Februari 2011, saya diundang oleh Konsorsium PALM, Penghijauan Area Lereng Merapi, untuk mencanangkan gerakan penghijauan area lereng Merapi, setelah tiga bulan erupsi Merapi terjadi. Pada kesempatan tersebut saya diminta untuk menyampaikan sambutan. Pada kesempatan itu saya ceritakan mimpi saya.
Dalam mimpi itu saya berada di suatu pondok pesantren. Saya masuk dalam ruangan, tempat Pak Kyai Pondok sedang berdialog dengan para santrinya. Kepada para santri Pak Kyai melontarkan suatu pertanyaan, “Kapan matahari terbit, Nak?” “Pada waktu ayam jago berkokok pada pagi hari,’ jawab seorang santri. “Tidak”, kata Kyai. “Lalu, kapan?, tanyanya.
“Pada waktu ada sinar merah terbit di ufuk timur setiap pagi”, jawab santri yang lebih senior. “Tidak juga”, kata Kyai lagi. “Lalu, kapan, Kyai, matahari terbit?” tanyanya.
“Matahari terbit, ketika ada kasih dalam hatimu, yang membuat kamu mampu melihat orang-orang di sekitarmu saudari dan saudaramu.” kata Pak Kyai dengan jelas menerangkan kapan matahari terbit kepada para santrinya.
“Ketika kamu mampu melihat orang-orang itu saudari dan saudaramu, tanpa pandang bulu, tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, ketika itulah matahari terbit! Karena itu, marilah MENABUR BENIH, MENUMBUHKAN PERSAUDARAAN!”
5. Membangun Indonesia Damai
Akhir-akhir ini kita saksikan intoleransi semakin menjadi-jadi. Dari peristiwa pembantaian di Cikeusik (Minggu, 6 Februari 2011) dan kerusuhan di Temanggung (Selasa, 8 Februari 2011) apa yang kita pelajari untuk membangun Indonesia damai? Pada hari-hari tersebut di siang bolong matahari tidak terbit, karena kegelapan menyelimuti hati manusia, terutama di Cikeusik dan di Temanggung.
Kita harus belajar agar tetap mampu mendengarkan suara hati, "Jangan merusak milik orang lain! Jangan membunuh! Jangan membalas kekerasan dengan kekerasan!" Kami mengecam keras tindakan merusak dan membunuh, namun kami tetap menyadari amanat luhur yang diwariskan kepada kami, "Kasihilah sesamamu! Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan!"
Semarang, 23 Februari 2011
+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang
di Aula Mapolda Jateng, Semarang
oleh: Mgr. Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang
1. Pluralisme Indonesia Sebuah Kenyataan
Kenyataan Indonesia adalah plural, majemuk dalam budaya, agama, dan status sosial ekonomi. Setiap orang Indonesia berada dalam pluralitas tersebut. Karena itu, dialog merupakan cara dewasa menjadi Indonesia. Dengan demikian dialog bukan sekedar suatu pilihan, melainkan keniscayaan untuk membangun Indonesia. Dalam dialog sejati toleransi saja tidak cukup.
Lebih dari toleransi perlu diupayakan mengembangkan sikap saling mengasihi dan saling menghormati (mutual love and mutual respect).antar warga Indonesia yang beragam budaya, beraneka agama, dan berbagai status sosial ekonomi. Program inkulturasi budaya, kerukunan hidup beragama, dan pemberdayaan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir merupakan perwujudan dialog sebagai cara cerdas menjadi Indonesia.
Kenyataan pluralitas Indonesia inilah yang dirumuskan oleh pujangga kita Mpu Tantular dengan “Bhinneka Tunggal Ika”.
2. Banyak Anggota Satu Tubuh
Tubuh kita satu, tetapi banyak anggota. Kalau seluruh tubuh adalah kepala, di manakah tangan? Kalau seluruh tubuh adalah tangan, di manakah kaki? Masing-masing anggota tubuh berbeda tempat dan fungsinya, tetapi semuanya terhubungkan satu sama lain, terjalin secara terpadu, berada bersama membangun satu tubuh. Kalau satu anggota tubuh terluka sakit, seluruh tubuh merasa sakit. Kalau satu anggota tubuh nyaman, seluruh tubuh merasa nyaman pula. Dalam komunikasi perbedaan merupakan potensi untuk menciptakan sinergi
3. Belajar Arif dari Jari Jemari
Melalui narasi turun menurun yang dituturkan oleh sesepuh kepada generasi muda kita belajar menghargai perbedaan. Jari jemari kita ini berbeda-beda, letaknya, ukurannya, fungsinya, dan pendapatnya.
Saya masih ingat semasa kanak-kanak nenek saya menuturkan percakapan yang terjadi antar jari jemari. Konon, karena merasa diri dikalahkan terus-menerus jari Telunjuk punya gagasan untuk melenyapkan jari Temunggul, katanya kepada Kelingking, "Enthik-enthik, si Temunggul patenana!" "Si Temunggul dosane apa," tanya Kelingking. "Dosane ngungkul-ungkuli," jawab Telunjuk. Mendengar percakapan itu, jari Manis nimbrung, "Aja, Dhi! Aja, Dji! Sedulur tuwa ala-ala malati!" Meneguhkan pendapat arif dari jari Manis itu, Ibu Jari membenarkan, "Bener, bener, tahi laler enak seger!" "Cekikiiiik, cegiiiiir!" serentak Jari Jemari tangan bereaksi mengakhiri percakapan mereka.
Dari percakapan jari jemari tangan kita kita belajar arif melestarikan kehidupan, "Jangan membunuh!". Lalu kalau terjadi kerusuhan dan pembunuhan siapa yang paling bertanggungjawab?
4. Kapan Matahari Terbit?
Senin, 7 Februari 2011, saya diundang oleh Konsorsium PALM, Penghijauan Area Lereng Merapi, untuk mencanangkan gerakan penghijauan area lereng Merapi, setelah tiga bulan erupsi Merapi terjadi. Pada kesempatan tersebut saya diminta untuk menyampaikan sambutan. Pada kesempatan itu saya ceritakan mimpi saya.
Dalam mimpi itu saya berada di suatu pondok pesantren. Saya masuk dalam ruangan, tempat Pak Kyai Pondok sedang berdialog dengan para santrinya. Kepada para santri Pak Kyai melontarkan suatu pertanyaan, “Kapan matahari terbit, Nak?” “Pada waktu ayam jago berkokok pada pagi hari,’ jawab seorang santri. “Tidak”, kata Kyai. “Lalu, kapan?, tanyanya.
“Pada waktu ada sinar merah terbit di ufuk timur setiap pagi”, jawab santri yang lebih senior. “Tidak juga”, kata Kyai lagi. “Lalu, kapan, Kyai, matahari terbit?” tanyanya.
“Matahari terbit, ketika ada kasih dalam hatimu, yang membuat kamu mampu melihat orang-orang di sekitarmu saudari dan saudaramu.” kata Pak Kyai dengan jelas menerangkan kapan matahari terbit kepada para santrinya.
“Ketika kamu mampu melihat orang-orang itu saudari dan saudaramu, tanpa pandang bulu, tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, ketika itulah matahari terbit! Karena itu, marilah MENABUR BENIH, MENUMBUHKAN PERSAUDARAAN!”
5. Membangun Indonesia Damai
Akhir-akhir ini kita saksikan intoleransi semakin menjadi-jadi. Dari peristiwa pembantaian di Cikeusik (Minggu, 6 Februari 2011) dan kerusuhan di Temanggung (Selasa, 8 Februari 2011) apa yang kita pelajari untuk membangun Indonesia damai? Pada hari-hari tersebut di siang bolong matahari tidak terbit, karena kegelapan menyelimuti hati manusia, terutama di Cikeusik dan di Temanggung.
Kita harus belajar agar tetap mampu mendengarkan suara hati, "Jangan merusak milik orang lain! Jangan membunuh! Jangan membalas kekerasan dengan kekerasan!" Kami mengecam keras tindakan merusak dan membunuh, namun kami tetap menyadari amanat luhur yang diwariskan kepada kami, "Kasihilah sesamamu! Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan!"
Semarang, 23 Februari 2011
+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang
No comments:
Post a Comment