75% analogy, selebihnya ...
Ini adalah sebuah kisah tentang seekor keledai. Bukan keledai yang sama dengan fabel-fabel di masa lampau, meski pada kenyataannya mungkin semua keledai punya kesamaan yang sama. Selalu jatuh pada kesalahan yang sama.
Konon, beribu-ribu tahun yang lalu saat hewan dapat berbicara layaknya manusia, hidup seekor keledai dalam lingkup ekologi keledai. Ia, bukan keledai yang istimewa, namun biar keren kita anggap saja namanya Joe. Kelebihannya hanyalah bahwa otaknya sedikit lebih besar dari kawanan keledai seumurnya.
Suatu waktu saat umurnya beranjak dewasa, dan mulai berani untuk berjalan sendiri mengitari dan meninggalkan padang rumput tempat kawanan itu tinggal, ia berpikir apa salahnya bila ia meninggalkan sedikit lebih jauh padang itu. Cukup beberapa meter saja. Maka, ia pun berjalan terus hingga ia menemukan bahwa jalan yang dilaluinya berakhir dengan sebuah jurang yang memisahkannya dengan sambungan jalan yang ia lewati. Beberapa saat ia mengamati jurang itu, tapi tak pernah berpikir untuk melaluinya. Bahkan memperkirakan jarak lebar jurangpun tak ia pikir. Joe terlalu takut untuk melangkah terlalu jauh. Ia terus berdiri dengan keempat kakinya di tepian jurang itu mengamati hewan lain yang dengan mudahnya melompati jurang. Meskipun penjaga jurang tlah menyediakan jembatan, Joe tetap teguh tak berani untuk menyebrang dan memilih untuk menghindari jalan itu. Namun, tiba-tiba tanpa dia sadari, satu kakinya terperosok. Ia pun terjatuh ke dalam jurang. Ia melayang … melayang dan melayang. Beruntung ia memiliki teman-teman yang mampu menariknya kembali dari dasar lubang jurang itu.
Bertahun-tahun berlalu. Joe keledai masih terus dengan perjalanannya. Kawan-kawannya sudah mulai memisahkan diri, hanya beberapa kabar yang sampai di telinganya. Hingga suatu hari ia menemukan jalan yang berujung dengan sebuah jurang yang harus dilalui bila ingin sampai di ujung yang satunya. Namun, saat itu ia tak seperti dulu lagi. Ia tak ingin jatuh lagi ke dalam jurang. Terlebih bahwa teman-teman yang dulu membantunya kini telah pergi dengan harapan dan impiannya masing-masing. Meninggalkannya dengan harapan dan impian yang belumlah sampai. Sesosok penjaga jurang itu memintanya untuk menyerah saja , menunjukkan jalan lain yang mungkin bisa ditempuh oleh sang keledai. Namun, Joe tak menggubris nasehat itu. Bahkan kata-kata sang penunggu yang memintanya bersabar dan kembali bila ia sudah mampu melewati jurang itu atau jurang itu telah semakin sempit tidak ia pedulikan.
Ia kemudian bersiap, kemudian berlari , dan ….
Lebar jurang itu tak lebih dari lima kaki. Namun tepinya berkelok-kelok tak teratur. Ia bahkan tak melihat dengan jelas ujung pastinya. Samar-samar memberikan harapan bahwa ia mampu melewati jurang itu.
Saat tubuhnya melayang di udara, Joe kemudian tersadar, mungkin lebarnya tak lebih dari lima kaki tapi ternyata ia tak mampu melewatinya. Tepi lain jurang itu ternyata hanyalah fatamorgana yang diterbitkan oleh matahari yang dipantulkan oleh langit biru. Dan ia kini tak memiliki pijakan. Ia melayang…. Melayang … melayang dan mulai terjatuh.
Ia pun berpikir, “ ternyata aku benar-benar keledai”. Sejenak kemudian ia tersenyum dan berseru ,” Thankz God.”
Sesuatu yang aneh, bahwa saat ia jatuh ia malah bersyukur. Saat keledai itu kembali, dan sang penunggu jurang itu menatapnya penuh tanya , dari kedalaman jurang itu ia berkata
“Aku ingin bersyukur, bukan karena aku terjatuh tapi karena proses yang telah aku jalani melewati jalan ini. Meski tak mampu melewati jurang ini, banyak hal yang tak mampu dijelaskan dengan kata yang telah aku dapatkan. Tak kan ada yang mampu memahami betapa aku bersyukur. ”
Mungkin aku akan kembali ke sini. Mungkin juga tidak. Semua punya kemungkinan yang sama besarnya. Tapi sebelum itu sampai, ada rencana lain yang harus terlaksana.
(^.^)
Ini adalah sebuah kisah tentang seekor keledai. Bukan keledai yang sama dengan fabel-fabel di masa lampau, meski pada kenyataannya mungkin semua keledai punya kesamaan yang sama. Selalu jatuh pada kesalahan yang sama.
Konon, beribu-ribu tahun yang lalu saat hewan dapat berbicara layaknya manusia, hidup seekor keledai dalam lingkup ekologi keledai. Ia, bukan keledai yang istimewa, namun biar keren kita anggap saja namanya Joe. Kelebihannya hanyalah bahwa otaknya sedikit lebih besar dari kawanan keledai seumurnya.
Suatu waktu saat umurnya beranjak dewasa, dan mulai berani untuk berjalan sendiri mengitari dan meninggalkan padang rumput tempat kawanan itu tinggal, ia berpikir apa salahnya bila ia meninggalkan sedikit lebih jauh padang itu. Cukup beberapa meter saja. Maka, ia pun berjalan terus hingga ia menemukan bahwa jalan yang dilaluinya berakhir dengan sebuah jurang yang memisahkannya dengan sambungan jalan yang ia lewati. Beberapa saat ia mengamati jurang itu, tapi tak pernah berpikir untuk melaluinya. Bahkan memperkirakan jarak lebar jurangpun tak ia pikir. Joe terlalu takut untuk melangkah terlalu jauh. Ia terus berdiri dengan keempat kakinya di tepian jurang itu mengamati hewan lain yang dengan mudahnya melompati jurang. Meskipun penjaga jurang tlah menyediakan jembatan, Joe tetap teguh tak berani untuk menyebrang dan memilih untuk menghindari jalan itu. Namun, tiba-tiba tanpa dia sadari, satu kakinya terperosok. Ia pun terjatuh ke dalam jurang. Ia melayang … melayang dan melayang. Beruntung ia memiliki teman-teman yang mampu menariknya kembali dari dasar lubang jurang itu.
Bertahun-tahun berlalu. Joe keledai masih terus dengan perjalanannya. Kawan-kawannya sudah mulai memisahkan diri, hanya beberapa kabar yang sampai di telinganya. Hingga suatu hari ia menemukan jalan yang berujung dengan sebuah jurang yang harus dilalui bila ingin sampai di ujung yang satunya. Namun, saat itu ia tak seperti dulu lagi. Ia tak ingin jatuh lagi ke dalam jurang. Terlebih bahwa teman-teman yang dulu membantunya kini telah pergi dengan harapan dan impiannya masing-masing. Meninggalkannya dengan harapan dan impian yang belumlah sampai. Sesosok penjaga jurang itu memintanya untuk menyerah saja , menunjukkan jalan lain yang mungkin bisa ditempuh oleh sang keledai. Namun, Joe tak menggubris nasehat itu. Bahkan kata-kata sang penunggu yang memintanya bersabar dan kembali bila ia sudah mampu melewati jurang itu atau jurang itu telah semakin sempit tidak ia pedulikan.
Ia kemudian bersiap, kemudian berlari , dan ….
Lebar jurang itu tak lebih dari lima kaki. Namun tepinya berkelok-kelok tak teratur. Ia bahkan tak melihat dengan jelas ujung pastinya. Samar-samar memberikan harapan bahwa ia mampu melewati jurang itu.
Saat tubuhnya melayang di udara, Joe kemudian tersadar, mungkin lebarnya tak lebih dari lima kaki tapi ternyata ia tak mampu melewatinya. Tepi lain jurang itu ternyata hanyalah fatamorgana yang diterbitkan oleh matahari yang dipantulkan oleh langit biru. Dan ia kini tak memiliki pijakan. Ia melayang…. Melayang … melayang dan mulai terjatuh.
Ia pun berpikir, “ ternyata aku benar-benar keledai”. Sejenak kemudian ia tersenyum dan berseru ,” Thankz God.”
Sesuatu yang aneh, bahwa saat ia jatuh ia malah bersyukur. Saat keledai itu kembali, dan sang penunggu jurang itu menatapnya penuh tanya , dari kedalaman jurang itu ia berkata
“Aku ingin bersyukur, bukan karena aku terjatuh tapi karena proses yang telah aku jalani melewati jalan ini. Meski tak mampu melewati jurang ini, banyak hal yang tak mampu dijelaskan dengan kata yang telah aku dapatkan. Tak kan ada yang mampu memahami betapa aku bersyukur. ”
Mungkin aku akan kembali ke sini. Mungkin juga tidak. Semua punya kemungkinan yang sama besarnya. Tapi sebelum itu sampai, ada rencana lain yang harus terlaksana.
(^.^)
No comments:
Post a Comment